Senin, 02 Mei 2011

PAPER EKONOMI SUMBER DAYA PERTANIAN “ANALISIS PROYEK PERENCANAAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA”


PENDAHULUAN

Pengertian agroindustri sebagai komponen dari sistem agribisnis merupakan industri yang mengolah bahan baku dari hasil pertanian menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi. Oleh karena itu agroindustri mempunyai peranan yang sangat penting karena pada umumnya mampu menghasilkan nilai tambah dari produk segar hasil pertanian. Kemajuan teknologi agroindustri dewasa ini bahkan mampu mendorong ke arah diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan manusia maupun pengguna lainnya atau meningkatkan pangsa pasar hasil olahan. Tujuan agroindustri pengolahan hasil pertanian dengan teknologi tertentu, antara lain adalah untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan manusia, baik selera maupun nilai gizinya, memperpanjang masa simpan hasil pertanian yang mudah rusak, memberi peluang bagi pergembangan industri, menciptakan diversifikasi produk, memperluas pangsa pasar.
Salah satu komoditi perkebunan yang penting bagi Indonesia adalah kelapa. Komoditi ini telah lama dikenal dan sangat berperan bagi kehidupan masyarakat baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun aspek sosial budaya. Sebagian besar petani kelapa lebih senang menjual produknya dalam bentuk mentah ataupun kopra. Harga  produk  tersebut  sangat  berfluktuasi  dan harganya  sering  ditentukan  secara  sepihak  oleh  pembeli,  karena  tidak  ada  pilihan  lain petani  tetap menjual  hasil  kelapanya  walaupun  berada  pada  posisi  tawar  yang  lemah. Industri pun belum banyak bangkit untuk menarik keuntungan dari nilai tambah produk olahan kelapa hingga diperoleh aneka olahan yang mempunyai nilai ekonomis dan prospek pasar yang baik.
Teknologi dan sarana penanganan pascapanen produk kelapa yang  digunakan masih sangat sederhana, yaitu dengan mengupas kelapa, mencukil daging kelapa dari tempurung dan mengeringkan pada sinar matahari atau pada unit pengeringan sederhana. Sedangkan air kelapa, tempurung dan sabut sebagai bahan bakar dalam proses pengeringan kopra tetapi sebagian besar terbuang  sebagai limbah. Padahal limbah tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk yang menguntungkan antara lain serat sabut kelapa, arang batok, kelapa parut kering, gula kelapa, nata de coco dan lain-lain.
Antara  pembeli  dan  penjual  semata-semata  hanya  hubungan  jual  beli  komoditas belum ada unsur pembinaan bagi  petani pekebun  baik  pada  budidaya  maupun pada pengolahan dan pemasaran atau belum terintegrasi antara kegiatan budidaya dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut maka dalam makalah ini akan membahas mengenai program proyek pengembangan hasil komoditas kelapa untuk dijadikan barang ekonomis dan memiliki nilai tambah yang lebih sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.





















PEMBAHASAN

Produksi buah kelapa Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun atau setara dengan 3,02 juta ton kopra, 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut (Agustian et al., 2003; Allorerung dan Lay, 1998; Anonim, 2000; Nur et al., 2003; APCC, 2003). Industri pengolahan buah kelapa umumnya masih terfokus kepada pengolahan hasil daging buah sebagai hasil utama, sedangkan industri yang mengolah hasil samping buah seperti air kelapa, sabut, dan tempurung kelapa masih secara tradisional dan bahan baku untuk membangun industri  pengolahannya masih sangat besar. Tidak hanya dari segi jumlah, dari segi jenis produk hilirpun, pengolahan hasil buah kelapa juga  masih mempunyai peluang cukup besar.
Daging buah kelapa yang selama ini hanya diolah menjadi kopra, crude coconut oil (CCO), dan minyak goreng, mempunyai peluang dikembangkan menjadi industri  oleochemical, oleofood,  desicated coconut,  dan lain-lain produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Rumokoi dan Akuba, 1998; BNI 1946, 1990). Demikian juga halnya dengan hasil samping buah, sabut menjadi industri serat sabut, cocopeat, tempurung menjadi tepung tempurung, karbon aktif, dan air kelapa menjadi nata de coco. Bahan tersebut merupakan bahan baku pada industri matras, kasur, pot, kompos kering, aneka makanan dan lain sebagainya (Richtler dan Knaut, 1984; Istina et al., 2003.).
Kalau hanya memfokuskan pengolahan buah kelapa pada daging buah saja menyebabkan harga kelapa tertinggi hanya mencapai rata-rata Rp 1.500,-/butir, yang artinya pendapatan petani kelapa dengan kepemilikan rata-rata 0,5 ha hanya mencapai Rp 3.750.000,-/tahun, pendapatan yang  sangat rendah untuk petani dapat hidup layak. Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah  menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa akan meningkat.
Data yang dihimpun oleh Asia Pasific Coconut Community (APCC, 2001) bahwa konsumsi kelapa segar dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia mencapai 8,15 milyar butir (52,6%), dengan konsumsi  per kapita per tahun sebanyak 37 butir. Sisanya sebanyak 7,35 milyar butir (47,4%) diolah menjadi  1,43 juta ton kopra (Agustian  et al., 2003; Rindengan dan Karaow, 2003). Dari 1,43 juta ton kopra di atas 85-90% diolah menjadi  crude coconut oil  (CCO)  dan sisanya (10-15%) untuk olahan lanjutan. Dari angka-angka ini menunjukkan bahwa kegunaan buah kelapa beragam dengan pengguna yang juga tersebar. Hal ini menyebabkan bahan baku hasil samping kelapa tersebar, sehingga memerlukan strategi, kelembagaan dan implikasi yang tepat  untuk membangun industri hilir tersebut.
Kelembagaan  ekonomi  belum  berperan  dengan  baik  dalam  bidang  pengolahan dan pemasaran. Setelah adanya pengembangan unit pengolahan kelapa terpadu, maka air kelapa, tempurung  kelapa,  dan  sabut  kelapa  yang  selama ini terbuang diolah menjadi produk samping yang mempunyai nilai ekonomi. Teknologi yang diterapkan di  tingkat kelompok tani  adalah  teknologi  pengolahan  tepat  guna  dan  teknologi  mekanisasi. 
Dalam kandungan selulosa, pentosa, lignin, dan arang, pada tempurung serta sabut lebih tinggi dari pada kelapa Genjah dan Hibrida, sedangkan kelapa Genjah dan Hibrida kadar abunya yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan untuk industri arang dan serat sabut mutu  buah kelapa dalam lebih baik dibandingkan dengan buah kelapa Genjah dan Hibrida. Untuk industri air kelapa ke tiga jenis kelapa ini tidak jauh berbeda. 
Umur buah menunjukkan tingkat pertumbuhan buah kelapa, dimulai pada bulan ketiga, berat buah maksimum dicapai pada bulan ke tujuh, sedangkan volume pada bulan ke delapan. Tempurung terbentuk pada bulan ke tiga dan mencapai maksimum pada bulan ke sembilan. Daging buah mulai terlihat pada bulan ketujuh dan mencapai berat maksimum pada bulan ke duabelas. Pada bulan ke tujuh pada saat berat buah maksimum proporsi komponen buah terdiri atas 62% sabut, 7% tempurung, 1% daging buah, sisanya adalah air. Pada saat panen (12 bulan), proporsi berat basah sabut 56%, tempurung 17%, daging buah 27%; proporsi berat kering sabut 42%, tempurung 28%, dan daging buah 30% (Rindengan et al.,1995).
Mutu tertinggi dari produk hasil samping akan tercapai pada saat umur buah 13 bulan terkecuali untuk nata de coco, pada umur demikian pertumbuhan buah sudah berhenti, kadar air pada sabut sudah turun dan kandungan abu juga rendah. Sedangkan untuk nata de coco pada umur 13 bulan kandungan minyak pada air kelapa mulai meningkat yang menyebabkan rendahnya mutu nata de coco.
Tanaman kelapa disebut juga tanaman serbaguna, karena dari akar sampai ke daun kelapa bermanfaat, demikian juga dengan buahnya. Buah adalah bagian utama dari tanaman kelapa yang berperan sebagai bahan baku industri. Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah kelapa dan air kelapa. Bagian-bagian dari buah kelapa yang dapat dimanfaatkan serta hasil pengolahannya antara lain:
·         Daging Buah Kelapa
Daging buah adalah komponen utama yang dapat diolah menjadi berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi. Mutu bahan baku dari buah kelapa dipengaruhi oleh karakter fisiko-kimia komponen buah kelapa, yang secara langsung dipengaruhi oleh jenis dan umur buah kelapa; secara tidak langsung oleh lingkungan tumbuh dan pemeliharaan. Lingkungan tumbuh yang sesuai dan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan bahan baku bermutu untuk diolah lebih lanjut (Rindengan et al., 1995; Tenda et al., 1999).
Secara umum, kelapa terdiri atas tiga jenis, yaitu kelapa dalam, kelapa genjah, dan kelapa hibrida. Ketiga jenis kelapa ini berbeda saat mulai berbuah, jumlah produksi buah, dan komposisi kimia buah. Faktor yang sangat mempengaruhi mutu bahan baku hasil samping kelapa adalah komposisi kimia buah. Secara tradisional, masyarakat mengolah buah kelapa menjadi minyak melalui tahapan pemanasan yang relatif lama. Hal ini berimbas kepada pemborosan penggunaan bahan bakar serta minyak yang dihasilkan cepat mengalami ketengikan. Maka dibuatlah minyak goreng hemat energi sebagai alternatif bagi masyarakat di pedesaan terutama pemilik kebun kelapa.
Sementara itu, cara pembuatannya pun tergolong mudah. Yaitu, daging buah kelapa diparut untuk diambil santannya. Setelah itu santan yang diperoleh dibiarkan selama 1 jam sehingga terbentuk 3 lapisan yaitu lapisan atas berupa minyak, lapisan tengah berupa protein dan lapisan bawah yang isinya air. Kemudian lapisan atas dan lapisan tengah diambil sedangkan lapisan bawah dibuang.
Selanjutnya, campuran lapisan atas dan lapisan tengah ditambahkan dengan ragi roti sebanyak 1.5 gram atau satu sendok teh untuk setiap 1 kg kelapa parut lalu diaduk. Campuran dibiarkan selama 5-6 jam (proses ini disebut pemeraman atau peragian). Setelah terbentuk 3 lapisan seperti diatas, proses kemudian dilanjutkan dengan memanaskan 2 lapisan atas yaitu lapisan minyak dan lapisan proteinnya selama 10 menit.
Dalam pemanasan ini, terjadi penguapan air dan protein menggumpal (disebut galendo). Lalu minyak disaring dan galendo diperas. Untuk meminimalkan air yang masih terkandung didalamnya, minyak dapat dipanaskan lagi selama 5 menit. Masih ada satu keuntungan lagi yaitu, lapisan bawah hasil pemeraman yang berupa air dapat digunakan kembali sebagai sumber ragi untuk proses pembuatan minyak berikutnya. Air ini hanya dapat digunakan sebanyak 4 kali, setelah itu sudah tidak dapat dikompromikan lagi. Proses ini menghasilkan minyak sebanyak 15 % dari berat kelapa parut yang diolah. Dan minyak yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu minyak goreng Indonesia.
·         Sabut Kelapa
Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan et al., 1995).
Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat panjang),  bristle (serat halus dan pendek), dan debu abut. Seratdapat diproses menjadi serat berkaret, matras,geotextile, karpet, dan produk-produk kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan dalam industri jok, kasur, danpelapis panas. Debu sabut dapat diproses jadikompos dan cocopeat, dan particle board/hardboard.Cocopeat  digunakan  sebagai  substitusi  gambutalam untuk industri bunga dan pelapis lapangan golf.
Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi kesed. Namum volume serta nilai dari agroindustri ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan total volume sabut yang dihasilkan oleh tanaman kelapa. Nilai tertinggi (grade I) dari agroindustri sabut kelapa adalah serat lurus yang halus. Grade II serat lurus kasar serta grade III serat kusut. Selain itu masih ada hasil sampingan berupa gabus atau coco dush. Untuk memperoleh hasil ini, diperlukan sebuah unit pengolahan dengan perencanaan yang baik. Serat yang kusut masih harus dipres menjadi blok-blok padat hingga pengangkutannya tidak makan banyak tempat. Nilai serat akan lebih tinggi lagi kalau sudah digrade menjadi 3 macam kualitas.
Di dalam pengolahan serat sabut, pengembangan industri ini haruslah ditunjang dengan kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku sabut kelapa. Setiap satu alat pengolah sabut sederhana ini haruslah ditunjang oleh minimal 54,5 ha tanaman kelapa yang setara dengan 5.450 pohon kelapa.  Mendapatkan areal kelapa seluas tersebut di atas dalam satu hamparan sangat sulit, sehingga bahan baku harus dikumpulkan dari areal yang terpencar-pencar dan memerlukan biaya dalam pengumpulannya. Keadaan ini makin sulit dengan beragamnya produk yang dihasilkan petani. Petani yang menghasilkan kopra sebagai produk utamanya tidak akan menyisakan sabut dan tempurung karena digunakan untuk pengasapan kelapa; sehingga yang tersisa hanya air kelapa. Selain itu infrastruktur yang belum baik di setiap lokasi juga merupakan faktor kesulitan dalam pengembangan usaha hasil samping. 
Bahan baku sabut kelapa diharapkan pada petani yang menjadikan butiran kelapa sebagai produk utamanya, karena kelapa dijual dalam bentuk kelapa tanpa sabut, di mana sabutnya tinggal di areal. Keterangan ini memberi indikasi bahwa luas areal kelapa yang diperlukan untuk memenuhi bahan baku satu unit alat pengolah sabut  dari 5.450 pohon kelapa dapat tersebar pada luas wilayah 300 ha (jumlah petani kelapa 80%, dan yang menjadikan kelapa butiran sebagai produk utamanya 44%). Faktor lain yang sangat penting dalam pengembangan industri sabut rakyat ini adalah jaminan pemasaran produk sabut yang dihasilkan mengingat pada umumnya tidak ada pasar lokal atau konsumen sabut kelapa yang dekat dengan lokasi industri ini.
Hasil kajian mengenai industri pengolahan produk samping kelapa menunjukkan bahwa industri sabut, arang, dan nata de coco yang telah dilakukan oleh petani dengan penerapan teknologi sederhana, layak secara finansial, dengan B/C ratio 1,11 – 3,58 dan IRR 23 – 76%. Hasil analisis sensitivitas industri sabut menunjukkan kapasitas berjalan minimal 1.090 butir/hari, yang berarti untuk menjalankan satu unit pengolahan sabut diperlukan bahan baku sebanyak 1.090 butir/hari. Oleh karena itu penempatan industri pengolahan sabut perlu mempertimbangkan ketersediaan kebun kelapa yang mampu menyediakan bahan baku tersebut secara kontinyu. Kontinuitas ketersediaan bahan baku tersebut juga berpengaruh terhadap harga bahan baku. Harga maksimal untuk dapat menjalankan industri sabut secara kontinu adalah Rp 75,-/kg. Pada tingkat harga di atas harga tersebut, industri pengolahan sabut tidak layak dilaksanakan. Dari sisi harga produk, tingkat harga minimal yang masih layak untuk industri sabut adalah Rp 750,-/kg. Rendahnya akses pasar yang menyebabkan biaya transportasi relatif tinggi sering menyebabkan tingkat harga yang diterima petani jauh di bawah harga pasar, merupakan disinsentif bagi pelaku industri ini.
Aspek teknis alat pengolah sangat menentukan kualitas hasil olahan. Yang banyak terjadi, kualitas serat sabut yang dihasilkan oleh industri rakyat tidak sesuai dengan standar kualitas yang diminta oleh konsumen, dan hal ini dijadikan alasan oleh calon pembeli untuk menentukan harga dan bahkan menolak membeli produk yang sudah dihasilkan petani. Oleh karena itu pembinaan dan pengawasan terhadap produsen alat pengolah juga mutlak perlu mendapat perhatian dinas perindustrian setempat.
Untuk pengolahan sabut pengembangannya diarahkan kepada petani yang memproduksi kelapa butiran sebagai hasil utamanya, dengan luasan wilayah tidak kurang dari 300 ha, dengan infrastruktur yang baik untuk menunjang kelancaran transportasi bahan baku.  Di dalam pengolahan sabut, kegiatan ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos yang teknologinya sederhana, sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Sebagai gambaran satu ton serat sabut yang dihasilkan, terdapat lebih kurang 1,8 ton debu sabut. Harga debu sabut Rp. 400,- 
·         Tempurung Kelapa
Berat dan tebal tempurung sangat ditentukan oleh jenis tanaman kelapa. Kelapa dalam mempunyai tempurung yang lebih berat dan tebal daripada kelapa Hibrida dan kelapa Genjah. Tempurung beratnya sekitar 15-19% bobot buah kelapa dengan ketebalan 3-5 mm. Komposisi kimia tempurung terdiri atas; Selulosa 26,60%, pentosan 27,70%, lignin 29,40%, abu 0,60%, solvent ekstraktif 4,20%, uronat anhidrat 3,50%, nitrogen 0,11%, dan air 8,00% (Ibnusantoso,2001).
Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar, sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang terbarukan. Selain digunakan dalam industri farmasi, pertambangan, dan penjernihan, arang aktif juga digunakan untuk penyaring atau penjernih ruangan untuk menyerap polusi dan bau tidak  sedap dalam ruangan. Peningkatan ekspor arang tempurung dan arang  aktif dalam kurun waktu 10 tahun terakhir  masing-masing 13,86% untuk arang tempurung  dan 6,1% untuk arang aktif. Jumlah ekspor saat  ini untuk arang tempurung dan arang aktif masing-masing 29.493 ton dan 11.553 ton.  
Selain itu tempurung kelapa dapat untuk membuat kelapa serbuk kerang (kelapa shell powder). Produk ini menemukan penggunaan yang luas di industri kayu lapis dan papan laminasi sebagai extruder fenolik dan sebagai filler pada perekat resin sintetis, obat nyamuk dan agarbathis. Kelapa serbuk kerang lebih disukai untuk bahan alternatif lain yang tersedia di pasar seperti bedak kulit, bedak furfurol dan kacang kulit karena keseragaman kualitas dan komposisi kimia, sifat yang lebih baik dalam hal penyerapan air dan ketahanan terhadap serangan jamur. Produk ini dibuat dalam ukuran mulai 80-200 mesh. Menjaga mengingat menggunakan industri besar, permintaan bubuk tempurung kelapa tampaknya menjanjikan.
Cangkang kelapa bebas dari kontaminasi dari empulur serat kelapa, dll, yang rusak menjadi potongan-potongan kecil dan dimasukkan ke sebuah semprot. Bubuk dari semprotan tersebut dimasukkan ke dalam angin topan dan produk paralel dikumpulkan di filter tas. Bubuk kulit ini kemudian dimasukkan ke dalam mesin penyaringan bergetar dan dikemas sesuai dengan persyaratan ukuran mesh untuk menggunakan berbagai akhir. Yang menolak dari mesin pemisahan dapat didaur ulang di semprot untuk pengurangan ukuran. Persyaratan utama untuk kualitas baik yang konsisten serbuk tempurung kelapa, adalah pilihan yang tepat dari shell tahap kematangan yang tepat dan efisien mesin.
Hampir 60% butir kelapa yang dihasilkan dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, di mana sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ini berarti tempurung sisa berada di sekitar pasar sebagai limbah pasar. Untuk memproduksi 1 kg arang dari tempurung diperlukan tempurung dari 10 butir kelapa. Kalau satu drum untuk pengolahan tempurung kapasitasnya 100 pasang tempurung (100 butir) kelapa. Maka untuk membakar tempurung yang berasal dari penduduk sekitar pasar sebanyak 200.000 penduduk, sejumlah 1.200.000 butir (konsumsi 6 butir/kapita),  diperlukan drum pembakar sebanyak 144 buah/tahun. Jumlah ini akan menghasilkan 120 ton arang per tahun. Seperti halnya industri sabut, industri arang tempurung yang ada di daerah sentra produksi kelapa juga layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas industri ini menunjukkan harga minimal arang Rp 352,5/kg dan dibutuhkan kebun kelapa penyedia bahan baku seluas minimal 0,8 ha atau setara dengan 80 tanaman kelapa. Skala tersebut nampaknya tidak terlalu sulit dicapai, akan tetapi peluang pasar produk arang tempurung relatif kecil, sehingga untuk pengembangan industri ini perlu memperhatikan keseimbangan penawaran dan permintaan pasar secara cermat.
Pengembangan pengolahan arang dari tempurung lokasinya  harus berada di sekitar pasar tradisional, agar tidak jauh dari sumber bahan baku. Kendala dalam pengolahan arang tempurung dari limbah pasar ini adalah kondisi tempurung yang tidak utuh. Kebiasan masyarakat, memarut kelapa dilakukan setelah daging buah dipisah dengan tempurungnya. Cara pengupasan daging buah dengan tempurung adalah dengan melepas tempurung sedikit demi sedikit, sehingga tempurung menjadi kepingan-kepingan kecil. Bentuk ini kurang memenuhi syarat untuk pembuatan arang. Kebiasan ini perlu diubah dengan cara pemarutan kelapa dimana pemarutan daging kelapa dilakukan pada kondisi daging dan tempurung masih bersatu, cara ini menyisakan tempurung yang utuh.
Selama ini industri pengolahan arang aktif di dalam negeri kurang berkembang. Ekspor dilakukan dalam bentuk arang tempurung oleh pengusaha menengah dengan melakukan sortasi arang yang diperoleh dari masyarakat. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh sangat rendah, dibandingkan jika mengolah arang sampai menjadi arang aktif; nilai tambahnya dapat mencapai lebih dari 300%.  
·         Air Kelapa
Volume air yang terdapat pada kelapa Dalam sekitar 300 ml, kelapa Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur, cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah; specific grafity 1,02%, bahan padat 4,71%, gula 2,56%, abu 0,46%, minyak 0,74%, protein 0,55%, dan senyawa khlorida 0,17%.  
Air kelapa yang dapat diolah untuk menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi seperti minuman ringan, cuka, dan nata de coco. Nata de coco sendiri selain sebagai makanan berserat, juga dapat digunakan dalam industri akustik. Saat ini baru nata de coco yang telah berkembang mulai dari skala industri rumah tangga hingga industri besar (Tenda et al., 1999).
Sekitar 40% butir kelapa yang dihasilkan diolah menjadi kopra (5 milyar butir/tahun), dan hasil samping yang tersisa dari pengolahan kopra adalah air kelapa, karena sabut dan tempurungnya dibakar untuk pengasapan kopra. Banyaknya jumlah air kelapa yang didapat, barangkali tidak perlu diolah semua. Jumlah pengolahan air kelapa menjadi nata de coco sangat ditentukan oleh perkembangan jumlah konsumsi yang mungkin terjadi. Persaingan di segmen minuman ini sangat tinggi, karena banyaknya macam dan merek yang beredar saat ini. Sementara penampilan nata de coco sejak awal sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Oleh sebab itu di daerah yang akan dikembangkan pengolahan nata de coco perlu dilakukan survei pasar terlebih dahulu. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan menengah dan besar.
Dalam pengembangan industri nata de coco di tingkat petani, di samping kelayakan finansial, hal yang perlu lebih dipertimbangkan adalah kepercayaan konsumen dan keterandalan jaringan pemasaran produk yang dihasilkan. Industri nata de coco yang ada di tingkat petani umumnya dalam skala kecil dengan jangkauan pasar lokal di sekitar lokasi usaha. Mengingat konsumen nata de coco adalah konsumen akhir, maka kepercayaan konsumen terhadap merk dagang sangat menentukan keberhasilan penjualan produk yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pembinaan kemitraan antara petani dengan pengusaha besar atau menengah yang telah memiliki merk dagang terpercaya untuk memasarkan produk petani. Untuk pengolahan air kelapa, pembinaan sebaiknya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan untuk mendapatkan nata de coco yang sehat dan higienis. Nata de coco yang diproduksi petani dijual ke pabrikmenengah atau besar untuk mengolahnya dan memackingnya menjadi bentuk yang menarik. Dapat juga dalam pemasarannya, nata de coco dicampur dengan bahan atau makanan lain. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh pengusaha menengah dan besar.
Analisis finansial agroindustri rakyat pengolahan kelapa dilakukan dengan asumsi sebagai berikut:
·         Pengolahan Buah Kelapa
a.  Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6.000 butir/tahun.
b.  Produksi yang dihasilkan adalah energi minyak kelapa. Setiap 1 liter minyak kelapa yang dihasilkan membutuhkan 20 butir buah kelapa.
c.  Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis peralatan pembuat minyak kelapa.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang.
Perhitungan analisis financial untuk pembuatan minyak kelapa ini  yaitu dengan harga buah kelapa per butirnya 200-300 rupiah saja, maka akan lebih mempunyai nilai tambah apabila masyarakat desa bisa membuat minyak kelapa hemat energi ini. Untuk membuat 1 liter minyak kelapa ini, hanya dibutuhkan sekitar 20 butir kelapa kecil. Berarti, modal awal hanya 6000-7000 rupiah sedangkan harga minyak di pasaran berkisar 9000 rupiah.
·         Pengolahan Sabut
a.  Kapasitas terpasang alat olah sabut kelapa 1.500 butir sabut/hari
b.  Produksi yang dihasilkan adalah sabut kelapa dan debu (cocopeat). Setiap 1 kg sabut membutuhkan 5 butir sabut, dan setiap 1 kg debu sabut membutuhkan 16 butir sabut.
c.  Umur usaha dihitung selama 10 tahun sesuai dengan umur ekonomis mesin dan peralatan pabrik.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang
g.  Pengadaan alat olah sabut melalui modal pinjaman dengan bunga pinjaman sebesar 16% dan konstant selama jangka waktu pengembalian 10 tahun.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan harga bahan baku Rp 50,-/butir sabut dan harga produk sabut Rp 900,-/kg serta harga debu sabut Rp 400,-/kg memberikan B/C ratio 3,58; NPV sebesar Rp 50.408.605,-; dan IRR 76%.  Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal sabut agar usaha ini tetap layak adalah Rp 750,-/kg. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain tetap maka kapasitas berjalan minimal sebesar 1.090 butir sabut/hari agar usaha tetap layak. Dengan asumsi hari kerja selama 25 hari/ bulan dan 12 bulan/tahun, maka dalam satu tahun diperlukan minimal 327.000 butir sabut. Bahan baku ini dapat dipasok oleh sekitar 5.450 tanaman kelapa menghasilkan, atau sekitar 54,5 ha tanaman kelapa.
·         Pengolahan Tempurung
a.  Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6.000 butir tempurung kelapa/ tahun.
b.  Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.
c.  Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis tempat pembakaran.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang
Perhitungan analisis finansial agroindustri arang tempurung rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk arang tempurung Rp 500,-/ kg  memberikan  B/C  ratio  1,11;  NPV sebesar Rp 69.249,-; dan IRR 23%. Analisis sensitivitas agroindustri ini menun-jukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal arang tempurung Rp 352,5 / kg agar usaha tetap layak. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain tetap maka luas areal tanaman kelapa minimal yang diperlukan sebagai pendukung bahan baku sebesar 0,8 ha yang setara dengan 80 tanaman kelapa agar usaha tetap layak. Kendala yang ada dalam pengembangan industri arang tempurung rakyat adalah masih kecilnya pasar produk arang tempurung ini sehingga jaminan pemasarannya sukar didapat.
·         Pengolahan Air Kelapa
a.  Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6.000 butir/tahun yang berisi sekitar 996 liter air kelapa.
b.  Produksi yang dihasilkan adalah nata de coco. Setiap 10 liter air kelapa dapat menghasilkan 6 kg nata de coco.
c.  Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis peralatan pembuat nata de coco.
d.  Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus
e.  Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.
f.  Discount rate  yang  digunakan  sebesar  18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang.
Perhitungan analisis finansial agroindustri nata de coco rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk nata de coco Rp 2.000 per kg memberikan B/C ratio 1,32; NPV sebesar Rp 953.950; dan IRR 32%. Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan  bahwa dengan asumsi variabel yang  lain  tetap,   harga  minimal  nata de coco Rp 1.475 / kg agar usaha tetap layak.  Kendala dalam pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini adalah dalam pemasaran retail produk nata yang memerlukan kepercayaan konsumen terhadap produk dan merek dagang produk yang dihasilkan serta keterandalan jaringan pemasaran mengingat konsumen nata de coco ini adalah konsumen akhir. Agroindustri nata de coco rakyat yang ada umumnya hanya skala kecil dengan pasar lokal disekitar lokasi usaha. Untuk itu pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini perlu diiringi dengan perjanjian kerjasama dengan pengusaha besar atau menengah yang telah memiliki merek dagang yang dipercaya konsumen dan jaringan pemasaran yang baik. Agroindustri nata de coco rakyat dapat memasok produk lembaran nata yang selanjutnya diolah oleh pengusaha besar atau menengah. Prospek agroind






















DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A., S. Friyatno, Supadi dan A. Askin. 2003. Analisis pengembangan agroindustri komoditas perkebunan rakyat (kopi dan kelapa) dalam mendukung peningkatan daya saing sektor pertanian. Makalah Seminar Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. T.A.
Allorerung, D., dan A. Lay. 1998. Kemungkinan pengembangan pengolahan buah kelapa secara terpadu skala pedesaan. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung 21 – 23 April 1998 Pp.327 – 340.
Anonim. 2000. Hasil pengkajian sabut kelapa sebagai hasil samping. Bank Indonesia Jakarta.
Anonim. 2005. Evaluasi Kinerja Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Tahun 2005. http:agribisnis.deptan.go.id. Diakses tanggal 15 Mei 2010 pukul 15.00 WIB.
Anonim. 2008. Merancang Agroindustri Sabut Kelapa. http://foragri.blogsome.com. Diakses tanggal 15 Mei 2010 pukul 15.00 WIB.
Anonim. 2004. Diklat Keterampilan Pengolahan Kelapa Bagi Petani Tahun 2004. http://DK%20PENGOLAHAN%20KELAPA_files/KELAPA.jpg. Diakses tanggal 15 Mei 2010 pukul 15.00 WIB.
APCC. 2000. Coconut statistical yearbook 1999. Asia Pacific Coconut Community. 
_____. 2001. Coconut statistical yearbook 2000. Asia Pacipic Coconut Community. 
_____. 2003. Coconut statistical yearbook 2002. Asia Pacipic Coconut Community. 
BNI 1946. 1990. Kebutuhan oleokimia dunia. Majalah Tinjauan Ekonomi  151.
BPS. 2002. Statistik industri besar dan sedang. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Ditjenbun. 2002. Statistik perkebunan indonesia 2000 – 2002. Kelapa. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta. 57 hal.
Ibnusantoso, G. 2001. Prospek dan potensi kelapa rakyat dalam meningkatkan ekonomi petani Indonesia. Dirjen Industri Agro dan Hasil Hutan. Dept. Perindag.Disampaikan pada Pekan Perkelapaan Rakyat. 5 Nopember 2001 di Riau.
Istina. I.N., Kardiyono, Umar, dan A. Aris. 2003. Pemanfaatan limbah sabut kelapa dalam usahatani padi pasang surut. Kelem-bagaan Perkelapaan di Era Otanomi Daerah. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan 22 – 24 Oktoner 2002. Pp.160 – 165.