Senin, 02 Mei 2011

EKONOMI SUMBER DAYA PERTANIAN EVALUASI KELAYAKAN INVESTASI AGRIBISNIS KAKAO DI INDONESIA


PENDAHULUAN
Di dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, selalu dibutuhkan kegiatan-kegiatan seperti proyek untuk mengembangkan pembangunan untuk kepentingan orang banyak. Dengan adanya proyek tersebut, pendapatan suatu negara yang sedang berkembang diharapkan dapat meningkat. Di samping itu, investasi kegiatan proyek tersebut dapat diharapkan dapat mengurangi perbedaan pendapatan masyarakat, sehingga terciptanya kesejahteraan masyarakat secara merata. Salah satu proyek yang dapat menjanjikan untuk investasi adalah proyek pengembangan agribisnis kakao.
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Gambar 1. Pohon Kakao
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% dikelola perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengankeunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri.
Gambar 2. Biji Kakao yang siap ekspor.
Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kelayakan investasi dari proyek pengembangan kakao di Indonesia.
Gambar 3. Kakao yang terserang hama penggerek buah.














PEMBAHASAN
A. TUJUAN DAN UNSUR-UNSUR POKOK PROYEK
1.  Arti Proyek
Proyek merupakan suatu rangkaian aktivitas (activities) yang dapat direncanakan, yang didalamnya menggunakan sumber-sumber (inputs), misalnya: uang dan tenaga  kerja, untuk mendapatkan manfaat (benefits) atau hasil (returns) dimasa yang akan dating. Aktivitas proyek ini mempunyai saat mulai (starting point) dan saat berakhir (ending point).
2.  Maksud Diadakan Evaluasi Proyek
Maksud disini adalah untuk menganalisa terhadap suatu proyek tertentu, baik proyek yang akan dilaksanakan, sedang dan selesai dilaksanakan untuk bahan perbaikan dan penilaian pelaksanaan proyek tersebut. Analisa semacam ini dianggap perlu dilakukan karena didalam pelaksanaan suatu proyek akan menyangkut penggunaan sumber-sumber yang langka ( scarcity resourses).
Dengan demikian suatu proyek perlu dianalisa/ dievaluasi, karena:
a.  Analisa dapat digunakan sebagai alat perencanaan didalam pengambilan keputusan, baik untuk pimpinan pelaksana proyek, pejabat, atau pemberi bantuan kredit dan lembaga lain yang berhubungan dengan kegiatan tersebut.
b. Analisa dapat digunakan sebagai pedoman atau alat di dalam pengawasan, apakah proyek nanti dapat berjalan sesuai yang direncanakan atau tidak.
3.  Aspek- aspek Daripada Persaingan dan Evaluasi Proyek
Ada beberapa aspek persiapan atau perencanaan yang harus diperhatikan pada setiap kegiatan proyek, diantaranya:
a.  Aspek teknis
Yaitu aspek yang berhubungan dengan inputs dan outputs daripada barang-barang dan jasa-jasa yang akan digunakan serta dihasilkan di dalam suatu kegiatan proyek.

b.  Aspek Managerial, Organisasi dan Institusi/ Lembaga
Yaitu aspek yang menyangkut kemampuan staf pelaksana untuk melaksanaan administrasi dalam aktivitas besar dan bagaimana hubungan antara administrasi proyek dengan lembaga lainnya (misalnya dengan pihak pemerintah) dapat terlihat secara jelas. 
c.  Aspek Sosial
Yaitu aspek yang menyangkut terhadap dampak (impact) social yang disebabkan adanya penggunaan inputs dan outputs yang akan dicapai suatu proyek. 
d. Aspek Finansial
Yaitu merupakan aspek utama yang akan menyangkut tentang perbandingan antara pengeluaran uang dengan pemasukan uang atau returns dalam suatu proyek.
e.  Aspek Ekonomis
Yaitu aspek yang akan menentukan tentang besar atau kecilnya sumbangan suatu proyek terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhaan.
Berikut pembahasan analisa proyek ini lebih menitik beratkan pada analisa asek financial dan aspek ekonomisnya, walaupun sebelumnya aspek-aspek lainnya juga diperlukan.
4.     Analisa Ekonomi dan Analisa Finansial
Yang dimaksudkan:
a)     Analisa Ekonomis, adalah suatu analisa yang melihat suatu kegiatan proyek dari sudut perekonomian secara kesuluruhan. Dengan demikian yang diperhatikan di dalam analisa ekonomis ini adalah hasil total atau produktivitas suatu proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. Hasil analisa ekonomis disebut dengan “the social return” atau “the economic return”.
b)     Analisa financial, adalah analisa yang melihat suatu proyek dari sudut lembaga-lembaga atau badan-badan yang mempunyai kepentingan langsung dalam proyek atau yang menginvestasikan modalnya ke dalam proyek. Oleh karena itu hasil analisa ini disebut dengan “the private returns”.
Kedua analisa tersebut kadang-kadang juga digunakan secara bersama-sama. Bahkan dilengkapi dengan analisa phisik, yaitu suatu analisa yang melihat dari bentuk phisik proyek.
5.     Unsur-unsur  yang berlainan di dalam Analisa Ekonomis dan Analisa Finansial
 Di bawah ini akan diberikan unsur-unsur yang berbeda di dalam tinjauan aspek ekonomis maupun aspek financial.
a)         Di dalam Analisa Ekonomis
b)        Harga yang dipakai pedoman adalah shadow price atau accounting price.
c)         Pembayaran pajak tidak dikurangkan dalam perhitungan benefit dari suatu proyek.
d)        Besarnya subsidi harus ditambahkan (adjusted) pada harga pasar barang-barang inputs.
e)         Besarnya bunga modal biasanya tidak dipisahkan atau dikurangkan dari hasil kotor.
Sedangkan di dalam analisa financial,
a.    Harga yang dipakai pedoman adalah harga pasar (market price).
b.      Pembayaran pajak dianggap sebagai biaya di dalam proyek, sehingga perlu  diperhitungkan atau  dipakai untuk mengurangi benefits.
c.       Besarnya subsidi yang diberikan dipakai sebagai mengurangi atau akan meringankan  biaya proyek sehingga akann merupakan benefits.
d.      Di dalam pembayaran bunga modal di dalam analisa ini dibedakan sebagai berikut:
1) Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang atau lembaga-lembaga dari luar yang meminjamkan uangnya (kreditor) kepada proyek, maka bunga tersebut dianggap biaya (cost). Sedangkan bila terdapat pembayaran kembali hutang dari luar proyek, maka akan dikurangkan dari hasil kotor sebelum diperoleh suatu arus benefit.
2) Tetapi untuk bunga atas modal proyek, di dalam hal ini tidak dianggap sebagai biaya (cost).
     Benefit Proyek
Di dalam hal ini benefit suatu proyek terdiri dari direct benefit dan indirect benefit. Disamping itu dikenal pula adanya intangible benefit.
a.       Direct Benefits
Yang dimaksud direct benefit adalah manfaat langsung dan nampak jelas dari hasil adanya suatu proyek. Manfaat ini bisa berupa:
1)      Adanya kenaikan dalam nilai output phisik dari kegiatan yang ditangani proyek.
2)      Kenaikan nilai dariada output yang disebabkan karena adanya perbaikan kualitas.
3)      Kenaikan nilai output karena adanya perubahan lokasi dan perubahan waktu penjualan.
4)      Kenaikan nilai output karena adanya perubahan bentuk (grading, processing, dan perubahan bentuk yang lainnya).
5)      Penurunan biaya (cost) yang disebabkan adanya mekanisasi.
6)       Penurunan biaya (cost) yang disebabkan oleh penurunana biaya pengangkutan
7)      Penurunan biaya (cost) yang disebabkan terhindar dari adanya kerugian seperti kerusakan dan lain sebagainya.
b.      Indirect Benefit atau Secondary Benefits
Yang dimaksud dengan indirect benefit adalah manfaat yang secara tidak langsung ditimbulkan oleh adanya kejadian proyek tersebut. Mafaat ini biasanya akan dirasakan oleh orang yang ada di luar royek itu. Indirect benefit ini bisa berupa:
1)      Adanya efek multiplier (multiplier effects) dari suatu proyek yang merupakan induced effects.
2)      Adanya skala ekonomis (economics of scale) yang lebih besar.
3)      Adanya dynamic secondary effects.

c.       Intangible Benefits
Intangible disini dimaksudkan suatu manfaat yang secara tiidak langsung bisa dinikmati oleh masyarakat, tetapi rupanya sulit untuk dinilai dalam bentuk uang. Jenis manfaat ini seperti halnya berikut ini:
1)      Adanya perbaikan lingkungan
2)      Bertambahnya emandangan baru disuatu tempat, seperti tempat rekreasi.
3)      Terciptanya distribusi pendaatan.
4)      Bertambahnya peningkatan pertahanan nasional.
A.    Biaya Proyek
Yang dihitung sebagai biaya atau pengeluaran poyek adalah hanya biaya-biaya atau ongkos-ongkos yang akan dikeluarkan dimasa yang akan dating untuk memperoleh penghasilan-penghasilan yang akan datang. Yang dimasukkan ke dalam biaya proyek antara lain:
1.      Biaya angsuran hutang dan bunga
2.      Penyusutan (depreciation)
3.      Biaya konstruksi dan peralatan
4.      Biaya tanah
5.      Biaya modal kerja
6.      Biaya bunga masa konstruksi
7.      Biaya opersi dan pemeliharaan
8.      Biaya pembaharuan atau pengganti
9.      Sunk cost
10.  Biaya feasibility studies dan engineering studies
11.  Intangible cost
12.  Biaya tak terduga
B.     Umur Proyek
Ada beberapa pedoman untuk menentukan panjangnya umur proyek antara lain:
1.      Sebagai ukuran umum dapat diambil suatu periode (jangka waktu) yang kira-kira sama dengan umur ekonomis daripada proyek. Yang dimaksudkan dengan umur ekonomis sesuatu asset ialah jumlah tahun selama pemakaian asset tersebut dapat diminimumkan biaya tahunan daripadanya.
2.      Untuk proyek-proyek yang mempunyai investasi modal yang besar sekali, lebih mudah untuk menggunakan umur tehnis daripada unsure-unsur pokok investasi. Di dalam hal ini perlu diingat bahwa untuk proyek-proyek tertentu umur tehnis daripada unsure-unsur pokok investasi adalah lama, tetapi umur ekonomisnya dapat jauh lebih pendek karena absolescence (ketinggalan jaman karena penemuan teknologi baru yang lebih efisien).
3.      Untuk proyek-proyek yang umurnya lebih lama daripada 25 tahun dapat diambil 25 tahun, karena nilai-nilai sesudah itu jika didiscount dengan discount rate sebesar 10% ke atas, maka present value-nya sudah kecil sekali.
B. ANALIS KELAYAKAN INVESTASI KAKAO
Tanaman kakao bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan yang dibawa masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh Bangsa Spanyol sekitar tahun 1560. Namun sejak kapan mulai dibudidayakan masih belum begitu jelas. Ada yang berpendapat pembudidayaannya bersamaan dengan pembudidayaan kopi tahun 1820, tetapi pendapat lain mengatakan lebih awal lagi yaitu tahun 1780 di Minahasa. Pembudidayaan kakao di Daerah Minahasa tersebut tidak berlangsung lama karena sejak tahun 1845 terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Akibatnya kebun tidak terpelihara dan menjadi rusak. Pada waktu budidaya kakao di Minahasa mengalami kehancuran, tanaman kakao mulai menarik perhatian petani di Jawa. Perkebunan kakao telah dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi daerah Ungaran, Salatiga, Surakarta, Kediri, Malang dan Jember. Namun sebelum mencapai kejayaannya, perkebunan kakao di Jawa juga mengalami kehancuran akibat serangan hama PBK sejak tahun 1886 dan setelah tahun 1900 praktis tidak ada lagi perkebunan kakao di Jawa.
Membaiknya harga kakao dunia sejak awal tahun 1970-an telah membangkitkan kembali semangat petani untuk mengembangkan perkebunan kakao secara besar-besaran. Hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, perkebunan kakao Indonesia berkembang pesat lebih dari 24 kali lipat dari 37 ribu ha tahun 1980 menjadi 914 ribu ha tahun 2002, dan produksi meningkat lebih dari 57 kali lipat dari 10 ribu ton tahun 1980 menjadi 571 ribu ton tahun 2002
Menurut PT. Bank Ekspor Indonesia (Persero), konsumsi kakao dunia saat ini mencapai 2,9 juta ton per tahun, sedangkan produksi dunia hanya sekitar 2,8 juta ton per tahun. Dengan demikian, masih terdapat kekurangan pasokan sebanyak 0,1 juta ton per tahun. Seiring dengan terus meningkatnya permintaan pasar terhadap kakao, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan ekspor dengan lebih meningkatkan lagi produksi nasional dengan memperhatikan mutu dari kakao tersebut. Menurut Asosiasi Kakao Indonesia, produksi kakao dunia saat ini mencapau 3 juta ton pertahun. Dari 3 juta produksi kakao dunia, 50 persen atau 1,5 juta ton berasal dari Pantai Gading sedangkan Indonesia menguasai pasar 6 persen atau sekitar 580.000 ton. Produksi kakao Indonesia terus meningkat dari 200.000 ton pada awal 2000 dan naik menjadi 580.000 ton pada 2004 (Sinar Harapan Nomor 0518). Semakin meningkatnya permintaan yang tidak diiringi dengan pasokan yang memadai mengakibatkan harga kakao di pasar internasional mengalami kenaikan dari 1.173 pound sterling pada bulan Mei 2002 menjadi 1.279 pound sterling pada Juli 2002. Kurangnya pasokan dunia disebabkan oleh anjloknya ekspor kakao dari Negara Pantai Gading, yang selama ini memduduki urutan pertama produsen kakao dunia akibat kemelut politik yang melanda negara tersebut.
Keadaan kurangnya pasokan kakao di pasar dunia merupakan peluang besar bagi produsen kakao Indonesia untuk terus meningkatkan produksi. Namun peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia harus diiringi dengan peningkatan mutu kakao tersebut. Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak, sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15% dari rata–rata harga kakao dunia. Menurut data dari PT. Bank Ekspor Indonesia (Persero), hingga saat ini kakao umumnya dikonsumsi oleh penduduk di negara-negara maju terutama di Eropa. Konsumsi per kapita pertahun tertinggi ditempati oleh Belgia dan Luxemburg, yaitu rata-rata 5,63 kg per kapita, disusul Swiss (4,55 kg per kapita), Inggris (3,71 kg per kapita), Jerman (3,47 kg per kapita), dan Perancis (3,15 kg per kapita).
Pemasaran kakao Indonesia telah mecapai pasar dunia dan cenderung menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1998, Indonesia mengekspor kakao dalam bentuk biji kering sebanyak 278.146 ton dengan nilai ekspor sebesar US$. 382.502.000. Jumlah ekspor ini mengalami peningkatan yang tinggi, di mana jumlah ekspor kakao Indonesia pada tahun 2000 sebesar 333.619,37 ton dengan nilai ekspor US$. 233.052.235 dan pada tahun 2002 sebanyak 365.650 ton dengan nilai ekspor sebesar US$. 520.671.608. Pada tahun 2003, jumlah ekspor kakao Indonesia mengalami penurunan, di mana jumlah ekspor sebanyak 265.838 ton dengan nilai ekspor US$. 410.277.734. Data ekspor kakao biji pada tahun 2000 sampai 2003 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini




  
Gambar 4. Perkembangan harga kakao dunia (Indikator ICCO)
Tabel 1. Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 2000-2003
Tahun
Volume (ton)
Nilai Ekspor (US$)
1998
278.146,00
382.502.000
1999
Tidak ada data
Tidak ada data
2000
333.619,37
233.052.235
2001
302.670,03
272.368.480
2002
365.649,87
520.671.608
2003
265.838,06
410.277.734
                  Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri, Ekspor
Grafik perkembangan jumlah ekspor dan nilai ekspor Indonesia berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
 
               Gambar 5. Grafik Ekspor Indonesia Tahun 1998-2003
           
                  Gambar 6. Grafik Nilai Ekspor Indonesia Tahun 1998-2003
     Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia dalam menghasilkan devisa negara. Keberadaan Indonesia sebagai produsen kakao utama di dunia menunjukkan bahwa kakao Indonesia cukup diperhitungkan dan berpeluang untuk menguasai pasar global. Dengan demikian, seiring terus meningkatnya permintaan pasar terhadap kakao maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan ekspor dengan lebih meningkatkan lagi produksi nasional. Kondisi peluang pasar ini merupakan peluang yang besar pula bagi negara-negara produsen kakao, terutama Indonesia untuk terus meningkatkan produksinya. Tanaman kakao relatif mudah tumbuh di Indonesia dan ini dapat dijadikan salah satu pendorong bagi pemilik modal untuk mulai menerjuni usaha budidaya kakao.
Dalam usaha peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia harus diiringi dengan peningkatan mutu kakao tersebut, seperti melakukan fermentasi secara baik. Mutu kakao Indonesia perlu mendapat perhatian khusus, sehingga dapat diakui oleh pasar internasional. Dengan meningkatkan mutu, maka harga kakao Indonesia akan dapat lebih bersaing di pasar dunia dan dapat menjangkau pangsa pasar yang lebih luas pula. Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak, sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15% dari rata–rata harga kakao dunia. Pengembangan investasi perkebunan kakao dapat memberikan dampak positif untukpertumbuhan sektor-sektor industri lainnya. Dalam usaha budidaya kakao ini akan banyak membutuhkan bahan, seperti pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian sehingga dapat meningkatkan industri pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian tersebut. Selanjutnya, hasil perkebunan kakao yang berupa biji kakao dapat pula memaju perkembangan usaha pengolahan biji kakao menjadi kakao bubuk, pasta, dan lain-lain. Dengan munculnya berbagai usaha industri maka akan membutuhkan tenaga kerja, sehingga akan memberi dampak positif karena berkurangnya jumlah pengangguran.
    Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pekebunan, harga jual kakao dalam bentuk biji kering di pasar domestik pada akhir tahun 2002 adalah Rp. 10.490/kg (US$ 1,165/kg) sampai Rp. 10.523/kg Rp. 10.615/kg (US$ 1,179/kg). Harga jual kakao bersifat fluktuatif dan dipengaruhi tingkat permintaan. Dengan demikian, ada kemungkinan harga jual ditempat meningkat pada tahun–tahun mendatang, seiring dengan terus meningkatnya permintaan pasar akan produk kakao. Tingkat produksi tanaman kakao ditentukan oleh tingkat kesuaian lahan, yang. Digolongkan menjadi sesuai (S1), cukup sesuai (S2), agak sesuai (S3), dan tidak sesuai (N) (lihat Tabel 2. 2). Penilaian tersebut didasarkan atas kondisi agroklimat, sifat fisik dan kimia tanah. Tingkat produksi pada tiap tingkat kesesuaian lahan (S1, S2, dan S3) tersebut, maka produksi pun akan berbeda. Data tingkat produksi untuk ketiga tingkat kesuburan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2. Produksi Tanaman Tiap Tahun (ton) Berdasarkan Tingkat Kesesuaian Lahan
Tahun Ke
S1
S2
S3
4
600
500
450
5
750
650
600
6
1.050
900
850
7
1.300
1.100
1.000
8
1.450
1.250
1.150
9
1.600
1.350
1.250
10
1.750
1.500
1.400
11-12
1.800
1.550
1.450
13-19
1.900
1.650
1.500
20
1.900
1.550
1.500
21
1.800
1.350
1.450
22
1.600
1.300
1.250
23
1.500
1.250
1.200
24
1.450
1.250
1.150
25
1.450
1.150
1.150
Sumber : Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil Bank Indonesia.
Uji kelayakan usaha juga perlu dilakukan dengan luas tanam yang berbeda. Dalam hal ini, dilakukan untuk luas lahan 3.000 ha dan 1.000 ha. Selain itu, dengan asumsi harga tanah tiap wilayah berbeda–beda, maka perlu adanya skenario untuk beberapa tingkat harga tanah. Dengan menggunakan rumus perhitungan yang sama, dilakukan pula perhitungan dengan menggunakan beberapa skenario pembiayaan untuk proyek perkebunan kakao. Pertimbangan pertimbangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Luas lahan untuk proyek 1.000 ha, tingkat produksi sesuai asumsi, harga jual Rp.10.000,00/kg, harga tanah Rp. 1.000,00/m2.
b. Luas lahan untuk proyek 1.000 ha, tingkat produksi sesuai asumsi, harga jual Rp.10.000,00/kg, harga tanah Rp. 2.000,00/m2.
c. Luas lahan untuk proyek 1.000 ha, tingkat produksi sesuai asumsi, harga jual Rp.10.000,00/kg, harga tanah Rp.3.000,00/m2.
Dalam pengembangan investasi kakao diperlukan rincian biaya sebagai berikut
Tabel 3. Perkiraan Kebutuhan Biaya untuk Pengembangan Agribisnis Kakao periode 2005-2010
No.
Bidang Usaha
Biaya
1
Usaha tani:
    1. Rehabilitasi
    2. Peremajaan
    3. Perluasan

Rp 60.000.000.000,00
Rp 55.000.000.000,00
-
2
Pertanian Terpadu
-
3
Pengendalian Hama
Rp 50.000.000.000,00
4
Penelitian dan Pengembangan
Rp 10.000.000.000,00
5
Industri Hilir
Rp 175.000.000.000,00
6
Fasilitas Pendukung
-

Total
Rp 350.000.000.000,00

Kebutuhan biaya untuk Pengembangan Agribisnis Kakao periode 2005-2010 adalah sebesar 350 milyar selama periode lima tahun, jadi untuk periode pertahunnya dibutuhkan investasi sebesar 70 milyar pertahun untuk lahan seluas 1000 ha.
Hasil analisis kelayakan untuk keempat skenario pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 4 Perhitungan pada tabel tersebut hanyalah contoh perhitungan kelayakan keuangan pada budidaya pengembangan kakao di suatu daerah. Untuk budidaya kakao di wilayah lain, nilai nilai rasio keuangannya mungkin berbeda karena dapat dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan sarana dan prasarana di suatu wilayah, kondisi fisik wilayah, kebijakan investasi, dan periizinan investasi di wilayah tersebut.
        Tabel 4. Analisis Finansial Dengan Berbagai Pendekatan Skenario Pembiayaan
Keterangan Investasi
SKENARIO PEMBAYARAN
Luas lahan 1.000 ha, harga jual Rp. 10.000,00/kg, produksi sesuai asumsi
Tanah Rp 1.000,00/m2
Tanah Rp 2.000,00/m2
Tanah Rp 3.000,00/m2
Return on Invesment
504,69%
339,55%
255,10%
Internal Rate of Return (IRR)
26,37%
21,47%
18,38%
Net Present Value (NPV) 10%
Rp. 84.687.250.727,77
Rp. 74.082.644.112,47
Rp. 63.478.038.497,17
Payback Periode (PP)
7 Tahun 9 Bulan
9 Tahun 7 bulan
11 Tahun 3 bulan
BEP Rupiah
Rp.138.593.224.725,28
Rp 139.343.224.725,28
Rp. 140.093.224.725
BEP Unit
28.556.247.791,05
29.306.247.791,05
30.056.247.791,05
BEP Harga
Rp. 7.290,52
Rp. 7.659,93
Rp. 8.029,35
Net B/C
4,36
3,08
2,37
Gross B/C
2,17
1,89
1,68
Profitability Ratio (PR)
5,05
3,40
2,55
          Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa beberapa kriteria evaluasi investasi menunjukkan investasi dalam proyek usaha pengembangan kakao di Indonesia sudah layak untuk dipilih atau diterima, misalnya saja terlihat dalam Net B/C maupun Gross B/C yang besarnya lebih dari 1, berarti menunjukkan bahwa proyek pengembangan kakao layak untuk dijalankan bagi pengusaha-pengusaha dan masyarakat khususnya di Indonesia.



PENUTUP
               Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia dalam menghasilkan devisa negara. Keberadaan Indonesia sebagai produsen kakao utama di dunia menunjukkan bahwa kakao Indonesia cukup diperhitungkan dan berpeluang untuk menguasai pasar global. Beberapa kriteria evaluasi investasi menunjukkan investasi dalam proyek usaha pengembangan kakao di Indonesia sudah layak untuk dipilih atau diterima, misalnya saja terlihat dalam Net B/C maupun Gross B/C yang besarnya lebih dari 1, berarti menunjukkan bahwa proyek pengembangan kakao layak untuk dijalankan bagi pengusaha-pengusaha dan masyarakat khususnya di Indonesia.
Keterlibatan investor sangat diharapkan untuk mengembangkan dan membenahi agribinis kakao, sehingga posisi dan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional dapat terus ditingkatkan. Indonesia yang saat ini berada pada posisi ketiga produsen kakao dunia dapat menjadi produsen utama kakao dunia jika kondisi kebun dapat diperbaiki, hama PBK dapat diatasi dan mutu produk dapat diperbaiki. Perbaikan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai upaya terutama rehabilitasi kebun, peremajaan dan perluasan areal disamping perbaikan mutu produk dan pengembangan industri hilirnya.












DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Anonim. 2009. Kajian Pasar dan Peluang Investasi Kakao. Di akses http://agribisnis-ugm.ac.id/files pada tanggal 17 Mei 2010 Pukul 15.30 WIB
Halim, Abdul. 2003. Analisis Investasi. Salemba Empat. Jakarta
Pudjosumarto, Muljadi. 2002. Evaluasi Proyek. Liberty. Yogyakarta
Roesmanto, Joko. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Kakao. Aditya Media. Jakarta
Soeharto, Imam. 1999. Manajemen Proyek. Erlangga. Jakarta
Soetrisno. 1983. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta