Selasa, 09 November 2010

“DAYA SAING KOMODITAS HOLTIKULTURA MELALUI INFORMASI & PEMASARAN YANG EFEKTIF & EFISIEN”

A.   PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditi yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar yang cukup baik. Holtikultura merupakan salah satu komoditas pertanian potensial yang dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun sumber devisa negara. Untuk meningkatkan pangsa ekspor non migas dalam memasuki pasar global maka komoditas holtikultura mempunyai peluang sebagai salah satu andalannya.
Perubahan lingkungan strategis dalam perekonomiaan secara umum, khususnya sektor pertanian turut mempengaruhi dinamika pasar produk hortikultura. Hal tersebut bisa dilihat dari implikasi liberalisasi perdagangan dan integrasi pasar, yang mendorong pertumbuhan pasar modern menjadi semakin pesat, selain pasar tradisional. Tingkat penetrasi pasar telah sampai ke pelosok pedesaan dan arus lalu lintas produk hortikultura baik antar wilayah dalam negeri maupun ekspor impor menjadi semakin terbuka.
Berkembangnya pertambahan penduduk menyebabkan banyaknya permintaan komoditas pertanian termasuk produk holtikultura. Petani harus mengetahui arus informasi dan pemasaran agar produk holtikultura yang disalurkan dipasaran mendapat nilai yang ekonomis dan efisien yang dapat meminimalkan biaya pengeluaran bagi petani itu sendiri. 
2.      Permasalahan
Permasalahan yang banyak muncul pada pemasaran produk holtikultura sehingga  antara lain sebagai berikut:
a.       Rendahnya akses informasi bagi petani dalam menjual pdoduk holtikultura hasil panen ke pasar.
b.      Rendahnya pengetahuan tentang segmentasi pasar yang cocok bagi produk holtikultura.
3.      Tujuan
Tujuan pembuatan paper, sebagai berikut :
a.       Mengetahui pengembangan sistem pemasaran yang efektif dan efisien pada produk holtikultura.
b.      Mengetahui intensitas konsumsi produk holtikultura dengan melihat pengembangan pemasaran.
c.       Mengetahui daya saing dan alur pemasaran yang tepat bagi produk holtikultura.




















B.   HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Tinjauan Teoritis
Pemasaran menurut Philip Kotler (1997, p.8) adalah sebagai berikut:
“Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.”
Sebagai salah satu kegiatan di sektor primer, maka sasaran pembangunan pertanian ditujuan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas masyarakat petani yang berkelanjutan dan untuk mengembangkan tata ruang atau lahan secara komprehensif (Kasryno, 2000; Hazell and Rosegrant, 1999)
Rumitnya masalah pemasaran produk holtikultura merupakan salah satu kendala berkembangnya agribisnis ini, petani sering terjebak oleh kondisi pasar yang sulit ditebak (Holtikultura, 2002).
Kaitannya dengan pemasaran, harga produk ditingkat produsen yang berfluktuasi secara tajam tidak menguntungkan bagi petani karena hal itu menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh dari kegiatan usahataninya. Resiko usaha yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga produk yang dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi penawaran, dan sebaliknya. Karena volume permintaan relatif konstan dalam jangka pendek maka fluktuasi harga jangka pendek dapat dikatakan merupakan akibat dari ketidakmampuan produsen dalam mengatur penawarannya yang sesuai dengan kebutuhan permintaan (Hastuti, 2004).
Irawan (2003) menyatakan bahwa pasar produk hortikultura membentuk segmen-segmen pasar spesifik menurut daerah dan kelompok konsumen akibat jenis komoditas dan preferensi konsumen yang beragam. Besarnya volume permintaan pada setiap segmen pasar seharusnya menjadi acuan bagi petani dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya. Dengan kata lain informasi tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Namun informasi ini pada umumnya masih sulit diperoleh petani karena belum ada lembaga tertentu yang mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada  petani.

2.      Hasil Kajian
Strategi pemasaran adalah sistem pemasaran yang diciptakan untuk mencapai tujuan tertentu yang didasari oleh konsep segmentasi pasar, target pasar, dan positioning. Agar suatu produk yang dihasilkan perusahaan dapat terjual kepada konsumen atau pasar, maka perusahaan harus mampu menyusun strategi pemasarannya untuk dapat mencapai tujuan perusahaan dalam memperoleh laba atau keuntungan.Suatu perusahaan harus menentukan dan memilih strategi pemasaran yang tepat, karena strategi pemasaran tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas pertanian.
Usaha pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen buah-buahan
tercermin dengan semakin membanjirnya buah impor baik dari ragam jenis buah maupun volumenya. Sumarwan (1999), mengemukakan bahwa membanjirnya buah impor pada saat sebelum krisis moneter telah memojokkan buah-buahan lokal., persaingan yang datang dari luar serta kebijakan pemarintah yang kurang kondusif menyebabkan banyak petani yang semakin terpuruk.
Produksi hortikultura umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu seperti halnya untuk komoditas sayuran banyak dihasilkan dari tofografi pegunungan/ dataran tinggi. Kondisi demikian merupakan suatu proses historis yang secara umum melibatkan aspek agroklimat dan kondisi social ekonomi daerah bersangkutan. Sifat hortikultura yang berorientasi pasar menyebabkan petani hortikultura, terutama sayuran lebih kreatif dibandingkan petani tanaman pangan lainnya. Kondisi demikian menyebabkan petani sayuran pada umumnya lebih mandiri dalam mengadopsi dan mengembangkan teknologi usahatani yang dibutuhkan.
Konsumsi buah dan sayuran lokal dan impor di Indonesia telah meningkat tajam yakni: 60,7% (36,44 kg/orang/tahun untuk buah dan 46,5% (30,56 kg/orang/tahun) untuk sayuran dari tingkat anjuran FAO. Bila dibandingkan dengan penduduk Amerika Serikat, konsumsi buah dan sayuran orang Indonesia masih sekitar 24,1% dan 59,1%. Namun Tingkat konsumsi ini sedikit meningkat untuk buah, bila dibandingkan dengan Taiwan yakni: 27,1% dan 35,6% terhadap orang Singapura (Setyabudi, 1999). Hal ini menunjukkan tingkat kemakmuran penduduk sangat relevan dengan meningkatnya tingkat konsumsi buah dan sayuran. Diramalkan konsumsi buah dan sayuran di dunia umumnya dan Indonesia khususnya, pada millenium mendatang juga akan meningkat sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk. Hal ini berdampak pada berubahnya pola makan dari makanan pokok berbasis karbohidrat ke pola makan bergizi tinggi termasuk didalamnya pola makan buah dan sayuran yang meningkat. Hal ini telah terbukti di beberapa negara maju seperti: negara Eropa, Australia, Jepang, Singapura dan lain sebagainya. Permintaan akan beberapa produk olahan komoditas hortikultura, juga diramalkan akan meningkat.
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial untuk  dikembangkan dalam sistem agribisnis dan agroindustri, karena  mempunyai keterkaitan yang kuat dari hulu maupun ke hilir. Sektor  agribisnis dan agroindustri hortikultura terbukti tangguh terhadap krisis  ekonomi sekarang ini, kecuali komponen obat-obatan seperti pestisida  dan bahan baku penolong agroindustri seperti: bahan flavour, pewarna, kemasan, suku cadang mesin yang kebanyakan masih impor.
Komoditas  buah, sayur dan bunga potong mempunyai potensi untuk dikembangkan,  karena permintaan cenderung meningkat. Namun pengembangan sektor  tanaman hortikultura dinilai masih lambat, karena belum diusahakan  dalam skala industri. Sehingga kontinyuitas produksi, belum bisa  diharapkan, sebagai syarat suatu industri. Beberapa kendala yang  dihadapi dalam pengembangan komoditas tanaman hortikultura antara  lain:
1.      Skala usahatani tergolong kecil, karena merupakan tanaman pekarangan dengan lokasi wilayah produksi terpencar-pencar. 
2.           Tidak ada standarisasi mutu, baik untuk konsumsi segar maupun  olahan. Hal ini menjadi kendala khusus untuk produk ekspor.
3.      Belum ada penerapan teknologi pasca panen yang benar, dimulai dari tahap panen, distribusi dan pemasaran. Karena tidak ada  pelatihan yang khusus untuk tenaga kerja buruh yang menangani  komoditas hortikultura sejak panen sampai di tangan konsumen.
Usaha-usaha penangan pasca panen masih relatif rendah baik yang  dilakukan oleh petani ataupun dari pihak pemasar sendiri, dengan alasan belum terjaminnya stabilitas harga di daerah produksi. Kehadiran perusahaan yang berteknologi tinggi, dengan fasilitas pendingin (cold storage)  belum mampu meningkatkan nilai tambah produk dalam arti keseluruhan, mengingat keterbatasan kapasitas  yang dimiliki perusahan itu sendiri.
Kondisi harga produk hortikultura yang berfluktuatif terjadi akibat kurangnya penawaran dibandingkan permintaan. Fluktuasi tersebut umumnnya disebabkan oleh disinkronisasi perencanaan produksi antar daerah produsen. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang, karena petani memiliki posisi tawar yang lemah. Oleh karena itu dapat dipahami jika keuntungan pedagang dalam pemasaran hortikultura relatif tinggi berkisar antara 14 –50 persen dari harga ditingkat konsumen.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap kepercayaan konsumen dalam membeli buah, menunjukkan bahwa : 
1.        Perubahan ‘budaya’ maupun peningkatan ‘psikologis’ konsumen, dapat meningkatkan secara nyata sikap kepercayaannya dalam membeli atau mengkonsumsi buah lokal. 
2.        Konsumen tidak perlu mempertimbangkan ‘Lingkungan sosial’-nya dalam membeli buah lokal dan peningkatan karakteristik ‘individu’ konsumen tidak menjadikan sikap kepercayaannya meningkat dalam membeli/mengkonsumsi buah lokal. 
3.        Konsumen tidak merasakan adanya ‘Strategi pemasaran’ yang ditempuh perusahaan/ pemasar yang dapat mendukung meningkatkan sikap-kepercayaannya dalam membeli /mengkonsumsi buah lokal
Beberapa permasalahan pokok yang masih dijumpai di daerah basis produksi antara lain masih kuatnya peran dan pengaruh tengkulak (para spekulan) sehingga sering memaksa produsen harus menjual hasilnya kepada pihak-pihak tertentu. Kondisi seperti ini tanpa disadari sering merugikan para petani mengingat  harga transaksi /harga pasar terlalu rendah.
Gambar 1.1 Komoditas Holtikultura
Beberapa alasan pihak petani melakukan hal tersebut adalah  adanya kepentingan keuangan modal atau kepentingan mendesak yang lainnya serta kadang-kadang terjerat oleh kemudahan-kemudahan peminjaman modal oleh tengkulak. Dalam hal harga, masih sering terjadi  fluktuasi yang sangat tinggi, salah satu diantaranya disebabkan terjadinya prilaku-prilaku yang bersifat  spekulatif yang dilakukan oleh hampir semua pihak baik petani sendiri, pedagang, maupun pengusaha  dengan alasan yang relatif bervariasi.
Preferensi konsumen dalam membeli produk hortikultura, terutama sayur dan buah, secara umum lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memiliki nilai gizi yang lebih baik. Namun produk hortikultura pada umumnya justru relatif cepat mengalami kebusukan, karena itu setelah dipanen produk hortikultura memerlukan  penanganan secara cepat untuk disalurkan pada konsumen. Jika tidak, maka akan terjadi penurunan harga akibat akibat penurunan kesegaran atau mutu produk yang dijual. Oleh karena itulah harga sayuran ditingkat petani sangat fluktuatif dalam jangka waktu yang sangat pendek, harian atau antara pagi dan sore hari akibat penurunan kualitas produk yang dipasarkan
Secara umum beberapa ciri yang melekat pada pengembangan produk hortikultura adalah pengembangan produk kurang terencana, petani mengusahakan suatu tanaman lebih pada informasi harga pada musim-musim sebelumnya, sementara keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan belum dapat diantisipasi dengan baik. Akibat lebih lanjut adalah:
1.      fluktuasi harga antar waktu sangat tinggi
2.      penerapan teknologi lebih didasarkan pada apa yang diinginkan petani, belum melihat apa yang dibutuhkan tanaman, apalagi yang terkait dengan kualitas produk yang diminta pasar
3.      aspek kelembagaan, belum dapat diidentifikasi dengan baik faktor pengikat yang dapat mempersatukan petani pada satu wadah yang solid
4.      diversifikasi usaha belum memperhitungkan pembagian resiko, namun lebih pada upaya menjaga stabilitas pendapatan
5.      petani selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan dalam hal informasi, terutama informasi harga
6.      \belum semua pelaku pasar menikmati keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya
7.      belum ada insentif di tingkat petani untuk mengembangkan produk sesuai dengan segmentasi pasar.
Salah satu karakteristik komoditi pertanian yang sangat penting dalam mempelajari struktur pasar adalah sifat homogen dan massal. Sifat homogen mengindikasikan bahwa konsumen tidak bias mengindikasi sumber-sumber penawaran disubstitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Sifat massal memberikan indikasi bahwa jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan seorang produsen dianggap sangat kecil dibandingkan jumlah komoditi total yang dipasarkan, sehingga produsen pertanian secara individual tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar dan bertindak sebagai penerima harga (price taker).
Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar : (1) jumlah dan besar penjual dan pembeli, apakah penjual relatif banyak sehingga tidak terdapat seorang penjual pun yang dapat mempengaruhi harga; (2) keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk tersebut homogen, berbeda corak ataukah produk tersebut unik sehingga tidak ada penjual lain yang dapat mensubstitusiikan produk yang dijual tersebut; (3) kemudahan keluar dan masuk pasar; (4) pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar.
Tentang struktur pasar hortikiultura secara umum dapat ditunjukkan bahwa struktur pasar ditingkat produsen atau petani cenderung oligopsoni dimana terdapat banyak petani yang menjual berbagai macam komoditas sayuran maupun buah-buahan. Pedagang lebih menguasai informasi mengenai harga, biaya dan kondisi pasar jika dibandingkan dengan petani.
Koefisien korelasi menunjukkan adanya hubungan linier antara harga ditingkat petani (Pf) dengan harga ditingkat pengecer (Pr) dengan tingkat keeratan sebesar koefisien korelasinya. Dengan nilai r <1, berarti kedua pasar berintegrasi tidak sempurna. Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara harga ditingkat petani dan konsumen adalah lemah dimana jika terjadi kenaikan harga satu-satuan ditingkat konsumen akan diikuti dengan kenaikan harga yang kurang dari satu ditingkat produsen, sehingga dapat dikatakan bahwa integrasi pasarnya adalah tidak sempurna atau bukan pasar persaingan.
Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui penampakan pasar antara pasar tingkat produsen dan pasar tingkat konsumen, digunakan model regresi sederhana (Azzaino, 1982). berarti perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen hanya dibedakan oleh margin pemasaran yang tetap.  Jika h > 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produsen. Jika h < 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih kecil dibanding tingkat produsen.
Pendekatan rantai pasokan (supply/value chain) adalah cara yang tepat untuk memahami aspek pemasaran. Rantai pasokan adalah jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama dalam alur produk, informasi, layanan dan nilai dari mulai produsen sampai ke konsumen akhir. Dalam konteks sektor hortikultura, rantai pasokan merupakan wujud nyata dari kegiatan ekonomi, bisnis dan investasi yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam agribisnis hortikultura. Pendekatan rantai pasokan pada prinsipnya ingin melihat bagaimana para pelaku pasar dalam setiap mata rantai pasokan dan utamanya petani, memperoleh manfaat sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya.
Rantai pasokan juga melihat perubahan nilai produk dalam setiap mata rantai oleh karena investasi dari masing masing pelaku, serta kesenjangan yang terjadi dalam atribut produk pada setiap mata rantai pasokan yang berimplikasi pada ketidak seimbangan manfaat yang diperoleh diantara pelaku dalam rantai pasokan. Dalam hal tersebut maka kebijakan dan layanan pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa rantai pasokan tersebut berlangsung secara efisien dan adil bagi semua pelaku.
Pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk membenahi rantai pasokan hortikultura adalah memetakan potensi utama yang menjadi andalan dalam suatu kawasan pertanian. Secara umum potensi besar produk hortikultura yang dimiliki suatu wilayah ini belum terkelola secara sistematis dan terpadu. Setiap daerah memilki potensi produk holtikultura yang berbeda-beda sehingga jumlah (kuantitas) dan kualitas yang dihasilkan juga berbeda. Pemetaan sangat penting untuk mengetahui informasi bagi tiap-tiap daerah penghasil sehingga tidak terjadi persaingan pada pasar yang sama dan tiap daerah akan memiliki ciri khas komoditi yang dipasarkan.

Gambar 1.2  Alur Penanaman Komoditas Holtikultura hingga Produk tersebut sampai ke Tangan Konsumen

Kedua adalah melakukan analisis terhadap peran pelaku dalam rantai pasokan. Beberapa hal yang sering ditemukan adalah masih terdapat kesenjangan dalam distribusi keuntungan di antara pelaku rantai pasokan dimana petani menjadi pihak yang paling lemah dan memiliki pengorbanan yang tinggi dibanding dengan pelaku lainnya. Petani merupakan produsen yang membutuhkan perantara untuk memasarkan hasil produk yang dihasilkan. Seringkali petani menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan yang paling kecil karena kurangnya informasi penjualan dan saluran pemasaran yang terbatas yang hanya menjual hasil panen produk tersebut pada tengkulak dengan harga rendah. Apabila rantai pasokan barang antara petani dengan konsumen akhir dapat seefisien mungkin maka harga penjualan dari produk petani tersebut akan meningkatkan dan meningkatkan petani itu sendiri.Informasi harga yang berlaku dalam rantai pasokan produk hortikultura bersifat asimetris, dimana penurunan harga di tingkat konsumen sangat cepat diinformasikan kepada petani, namun sebaliknya jika terjadi kenaikan harga akan sangat lambat diinformasikan. Diperlukan suatu mekanisme untuk membangun suatu sistem informasi harga yang memungkinkan semua pelaku usaha mendapatkan informasi secara proporsional. Penurunan harga sangat cepat diterima petani melalui produse tetapi kenaikan pada hasil barang komoditi sangat jarang terjadi. Petani menjual hasil produknya kepada bagian pemasar dengan harga yang sama atau standar sehingga petani tidak mengetahui bahwa produk tersebut sedang dicari dipasaran dan mempunyai harga jual yang baik atau tinggi. Kurangnya informasi ini karena kurangnya peran pemerintah dalam memberikan informasi dan kurangnya peran lembaga penyalur pemasaran produk hasil pertanian. Adanya anggapan pula bahwa petani menjual produ pertaniannya dalam keadaan dini atau belum siap panen karena takut menanggung resiko akibat hasil panen yang ridak menentu akibat kharakteristik hasil pertanian.
Perlunya ruang promosi atau pameran yang menyediakan fasilitas pameran untuk hasil-hasil pertanian dari kawasan sentra produksi. Ruang ini sebagai wahana untuk promosi produk, sekaligus memberi contoh produk dari berbagai sentra produksi. Dengan adanya pameran atau promosi bagi kalangan petani akan membantu dalam proses pemasaran secara tidak langsung. Petani akan memiliki jaringan yang lebih luas dan tidak hanya berfikir bahwa produk pertanian tersebut hanya dijual pada tengkulak sja dengan harga yang rendah.
Adanya informasi harga yang lebih transparan akan membuka peluang semua pelaku usaha mendapatkan penghargaan/margin keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya. Upaya memperpendek rantai tataniaga yang ada harusnya dilihat dalam kerangka bahwa yang penting adalah bukan sekedar memotong rantai namun bagaimana mendistribusikan keuntungan sesuai dengan pengorbanan pelaku.
Rantai pasokan bukan hanya alur produk dan dana semata, namun juga mencakup alur informasi, layanan dan kegiatan. Kesenjangan dalam peran pelaku, penguasaan informasi dan ketidakseimbangan layanan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan harga dan keuntungan diantara pelaku dalam rantai pasokan. Ketika petani telah teridentifikasi sebagai pihak yang paling lemah dalam rantai pasokan maka penguatan kelembagaan petani merupakan tugas dari pemerintah.
















C.   KESIMPULAN DAN SARAN
1.     Kesimpulan
a.       Untuk menghindari fluktuasi harga yang sangat tinggi pada komoditas hortikultura maka informasi pasar tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Dengan dukungan teknologi, keterampilan dan sarana pendukung lainnya pedaganglah yang menjadi penentu mutu produk petani.
b.      Adanya informasi harga yang lebih transparan akan membuka peluang semua pelaku usaha mendapatkan penghargaan/margin keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikan
2.     Saran
Saran yang dapat disampaikan, antara lain sebgai berikut:
a.       Pemasaran produk petani harus dipantau oleh pemerintah dan lembaga saluran pemasaran agar distribusi produk dapat lebih efisien dan meminimalkan biaya pengangkutan.
b.      Informasi pasar yang lengkap dapat membantu petani menjual produk sehingga dapat bersaing dipasaran.













DAFTAR PUSTAKA
Gumbira-Sa’id, dan Abdul Harizt .2001. Manajemen Agribisnis. PT. Ghalia Indonesia. MMA-IPB Bogor.
Hastuti, E.L. 2004. Kelembagaan Pemasaran dan Kemitraan Komoditi Sayuran. Jurnal Social Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 116 – 123.
Holtikultura, 2002. Menggetarkan Variabel Penentu : Mengkondusifkan Iklim Usaha tani Vol. 1 No. 6 . Juni 2002
Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 21 No. 1, Juli 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 67 – 82.
Sumarwan, U., 1999. Mencermati Pasar Agribisnis. Melalui Analisis Perilaku  Konsumsi dan Pembelian Buah-buahan. Majalah Agribisnis, Manajemen dan Teknologi. Volume 5-No.3 November 1999. Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor (IPB).