Senin, 02 Mei 2011

PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokan dalam famili Gramineae.  Seperti halnya padi dan termasuk katagori tanaman semusim, tanaman tebu tumbuh membentuk anakan, mengelompok dalam bentuk rumpun dan menghasilkan karbohidrat yang begitu tinggi.  Berbeda  dengan padi yang satu siklusnya 3-4 bulan, tanaman tebu membutuhkan waktu untuk menghasilkan produksi gula mencapai 11-12 bulan, sehingga memiliki biomassa yang cukup tinggi. Rata-rata bobot tebu yang dapat dihasilkan melalui pengelolaan budidaya yang baik dapat mencapai produktivitas tebu sekitar 1000-1200 ku/ha.  Namun di lapangan masih sering dijumpai pengelolaan tebu dengan tatacara yang tidak baik sehingga dihasilkan produktivitas tebu yang rendah, kurang dari 700 ku/ha.
Guna mendapatkan produksi tebu yang maksimal, sepantasnya pengelola tebu di lapangan tidak saja ditekankan kepada  perhatian bagaimana budidaya itu diterapkan, namun pengelola tebu juga perlu memperhatikan pola karakterisasi pertumbuhan tanaman.  Hal seperti ini perlu diperhatikan sejak awal.  Sebagai contoh, ketika tanaman tebu telah terinisiasi tunas, apakah kecambah yang dihasilkan sudah sesuai dengan jumlah pertumbuhan  standar kecambah yang baik.  Apabila belum memenuhi standar yang diharapkan, maka perlu dilakukan upaya penyulaman.  Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada setiap periode waktu pertumbuhan selama satu siklus tumbuh tebu. Oleh karena itu mengenali karakteristik pertumbuhan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan budidaya tebu.
Tanaman tebu dapat diusahakan di lahan sawah dan lahan tegalan, yang dikenal dengan kategori tebu sawah dan tebu tegalan.  Selain itu, berdasarkan sifat inheren tanaman pada tanaman tebu dikenal dengan kategori tanaman plant cane (PC) dan ratoon (R).  Semua kondisi kategori tersebut memiliki pengaruh terhadap karakterisasi pertumbuhan tebu.
Membanjirnya gula impor di pasar domestik tidak hanya disebabkan oleh ketidakefisienan pabrik gula di Indonesia, tetapi juga oleh pasar gula dunia yang bersifat distortif. Sebagian besar gula dunia saat ini diperdagangkan dengan sistem kuota atau preferential treatment. Akibatnya, harga gula residual market tersebut cenderung rendah dan sangat fluktuatif, khususnya bila negara-negara produsen besar masuk ke pasar (Hutabarat, et al., 2001).
Untuk meningkatkan efisiensi dan menghapuskan subsidi yang telah diberikan kepada petani dan industri gula di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 1998 mengenai pembebasan petani dari kewajiban untuk menanam tebu. Dalam waktu yang bersamaan, pemerintah juga menghapuskan peran Bulog dalam monopoli pengadaan dan distribusi gula, sehingga harga gula di pasar dunia ditransmisikan secara langsung ke pasar domestik. Pembebasan impor gula kepada pihak swasta telah menyebabkan gula impor membanjiri pasar domestik dan harga gula di tingkat perdagangan besar terus menurun (Malian dan Saptana, 2003).
Kelemahan utama industri gula di Indonesia saat ini adalah terkonsentrasinya pabrik gula (PG) di Pulau Jawa, sehingga tidak mampu bersaing dengan komoditas tanaman pangan yang mendapat perhatian dan proteksi yang lebih besar dari pemerintah. Penurunan produksi dan  produktivitas tebu, khususnya di sentra produksi tebu di Jawa sebagai dampak adanya pergeseran pengusahaan tebu dari lahan sawah ke lahan kering (Soentoro, et al; 1999).
Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani di Pulau Jawa memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula (PG) di Pulau Jawa berasal dari tebu rakyat.  Produktivitas tebu dan harga gula yang rendah serta biaya usahatani yang makin meningkat, telah mendorong terjadinya penurunan kualitas bahan baku yang disediakan petani. Berdasarkan beberapa hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengkaji daya saing usahatani tebu petani di Propinsi Jawa Timur dibedakan menurut tipe lahan (sawah dan lahan kering), tipe bibit (tanam awal dan kepras).
2.     Tujuan Analisis
Tujuan dari analisis proyek budidaya tanaman tebu adalah sebagai pedoman untuk membuat suatu keputusan mengenai pendirian atau perluasan proyek budidaya tanaman tersebut, dalam menarik kesimpulan terhadap apa yang akan dilakukan. Pembuatan keputusan tersebut bedasarkan pada pengumpulan berbagai macam data, terutama menyangkut penerimaan atau manfaat dan pengeluaran mengenai proyek budidaya tebu ini.


METODOLOGI PENELITIAN
A.           Metode Analisis
Untuk menganalis daya saing usahatani tebu petani, digunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Menurut Monke dan Pearson (1989), penggunaan PAM ditujukan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani.  Dalam model PAM penerimaan, biaya dan keuntungan dibedakan menurut harga privat (pasar) dan harga sosial. Perbedaan kedua harga tersebut merupakan dampak kebijakan yang ditempuh pemerintah, serta terjadinya distorsi di pasar input dan/atau output. Harga privat untuk gula adalah tingkat harga yang akan diterima petani tebu, berdasarkan harga lelang, sedangkan harga sosial diperoleh dari harga gula impor (fob) di pelabuhan terdekat, ditambah biaya freight dan asuransi serta bongkar-muat di pelabuhan dan ongkos angkut ke PG.
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa nilai tukar uang dapat tercipta pada titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran dari mata uang nasional di masing-masing negara. Penawaran uang diasumsikan dapat diciptakan secara independent oleh otoritas moneter di negara itu. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh tingkat pendapatan riil negara itu, atau tingkat harga umum yang berlaku serta tingkat bunga
(Salvatore, 1995).
Penerapan nilai tukar keseimbangan dengan pendekatan moneter seperti ini sangat sulit dilakukan, khususnya pada saat perekonomian masih berada dalam tahap pemulihan dari krisis ekonomi seperti yang dialami Indonesia sekarang. Dari data tersebut, selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai berikut:
                  1.       Analisis Keuntungan
a.    Private Profitability (PP): D = A – (B + C)
Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.
b.    Social Profitability (SP): H = E – (F + G)
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.
                  2.       Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi
a.    Private Cost Ratio: PCR = C/(A – B)
PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR, berarti semakin kompetitif.
b.    Domestic Resource Cost Ratio: DRCR = G/(E – F)
DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif, jika DRCR < 1. Semakin kecil nilai DRCR, berarti semakin efisien dan keunggulan komparatif makin tinggi.
                  3.       Dampak Kebijakan Pemerintah
a.    Kebijakan Output
Nominal Protection Coefficient on Output: NPCO = A/E. NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output, jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.
b.    Kebijakan Input
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input: NPCI = B/F. NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan yang bersifat protektif terhadap input tradable.
c.    Kebijakan Input – Output
Effective Protection Coefficient: EPC = (A – B) / (E – F). EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif, jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik.
B.            Sumber Data
Penelitian ini dilakukan di empat PG yang tersebar di 4 Kabupaten di propinsi Jawa Timur pada tahun 2004. Adapun nama-nama PG seperti berikut : (1) PG Krebet Baru (Kabupaten Malang), (2) PG Semboro (Kabupaten Jember), (3) PG Pesantren Baru (Kabupaten Kediri) dan (4) PG Pagotan (Kabupaten Madiun). Pada setiap PG tersebut diwawancarai 20 orang petani contoh yang menjual tebunya ke PG secara purposive sample dengan memperhatikan tipe bibit dan tipe lahan. Tipe bibit dibedakan tanam awal, kepras 1, kepras 2-3 dan kepras 3, sedangkan tipe lahan dibedakan antara lahan sawah dan lahan kering.

PEMBAHASAN
Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu Propinsi Jawa Timur termasuk salah satu propinsi di Pulau Jawa yang melaksanakan program akselerasi produktivitas gula nasional yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian. Program ini direncanakan selama lima tahun (2002-2007) dengan kegiatan utama pembongkaran tanaman tebu ratoon dan pembangunan kebun bibit tebu. Di Jawa Timur, pada tahun 2003 dilakukan kegiatan bongkar ratoon yang melibatkan 40 kelompok sasaran koperasi yang tersebar di 22 kabupaten/kota pada 31 wilayah pabrik gula (Anonim, 2004). Salah satu dampak dari program ini, banyak dijumpai petani yang melakukan bongkar ratoon tanaman tebu dan diganti dengan bibit tebu yang berkualitas terutama yang dihasilkan oleh P3GI. Program bongkar ratoon dambaan petani untuk mengganti varietas tanaman tebunya. Varietas yang sedang dikembangkan di Propinsi Jawa Timur yaitu varietas PS 862, PS 863, PS 861, PB 851, PS 851 dan PB 861, sedangkan varietas yang sudah banyak ditanam oleh petani yaitu varietas Triton, PS 80142, BZ 132, PS 801424..  
Produktivitas tanaman tebu dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak hanya tipe lahan (sawah/tegalan) tetapi juga penggunaan sarana produksi dan teknik budidayanya.  Pemupukan sebagai salah satu usaha peningkatan kesuburan tanah, pada jumlah dan kombinasi tertentu dapat menaikkan produksi tebu dan gula. Berdasarkan ini, rekomendasi pemberian macam dan jenis pupuk harus didasarkan pada kebutuhan optimum dan terjadinya unsur hara dalam tanah disertai dengan pelaksanaan pemupukan yang efisien yaitu waktu pemberian dan cara pemberian (Mubyarto dan Daryanti,1991).
Kombinasi jenis dan jumlah pupuk yang digunakan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas dan rendemen tebu. Produktivitas tebu di empat lokasi adalah berbeda antar tipe lahan, tipe bibit dan lokasi seperti pada Tabel 2.  Produktivitas tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri pada lahan sawah dan tanam awal cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di lahan tegalan dan sebaliknya untuk keprasan. Sementara, produktivitas tebu di lahan sawah di Kabupaten Malang dan Jember relatif lebih tinggi daripada di lahan tegalan.
Tabel 2. Produktivitas dan Rendemen Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004 .
Wilayah
Produktivitas (ton/ha)
Rendemen (%)

Sawah
Tegalan
Sawah
Tegalan
Madiun (PG. Pagotan)




Awal
104,6
108,6
6,7
6,3
Kepras 1
108,8
88,0
6,4
6,2
Kediri (PG. Pesantren baru)




Awal
106,3
126,7
6,6
7,0
Kepras 1
115,2
104,2
6,7
6,7
Kepras 2&3
73,7
100,0
6,7
6,8
Malang (PG. Krebet baru)




Awal
109,8
94,9
6,7
6,6
Kepras 1
76,7
91,3
6,6
6,6
Kepras 2&3
80,0
95,0
6,5
6,6
Kepras >3
-
77,7
-
6,5
Jember (PG. Semboro)




Awal
125,4
94,9
6,3
6,0
Kepras 1
110,7
88,0
5,8
6,0
Kepras 2&3
91,6
74,8
6,1
6,2
Kepras >3
61,5
-
5,9
6,1

Produktivitas tebu di Kabupaten Jember, pada tanam awal sebesar 125,4 ton/ha lebih tinggi daripada produksi tanam awal dilahan kering (94,9 ton/ha). Demikian pula produksi tebu pada tanam awal yang ditanam dilahan sawah. lebih tinggi dari pada pada kepras 1. Berbeda dengan di daerah lain, petani di Kabupaten Jember tidak menggunakan pupuk urea namun penggunaan pupuk ZA relatif lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten  atau Kabupaten Kediri. Disamping itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308,4 ribu hektar menurun menjadi 214,0 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun yang sama untuk Luar Jawa, dari 125,3 ribu hektar meningkat menjadi 137,2 ribu hektar (Malian, et al; 2004). Namun demikian rendemen yang diperoleh petani antar kabupaten relatif sama yaitu berkisar 6,0-6,8 dengan pola bagi hasil untuk petani rata-rata sebesar 66 persen. Kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu lahan sawah di Jawa jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan manajemen usahatani yang dibarengi kebijakan pemerintah terhadap insentif harga gula dan penyediaan kredit usahatani. Di sisi lain, Pulau Jawa juga merupakan sentra produksi beras, sehingga akan bersaing ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada.
Tabel 3. Rata-rata Penggunaan Pupuk Pada Usahatani Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004 .
Wilayah
Urea
SP-36
KCl
ZA
Pupuk lain (Rp/ha)
Madiun (PG. Pagotan)





Sawah





Awal
161,2
220,8
71,5
509,8
394.167
Kepras 1
163,2
295,8
45,9
719,8
513.333
Tegalan





Awal
350,0
87,5
0
583,0
109.200
Kepras 1
350,0
0
0
525,0
493.000
Kediri (PG. Pesantren baru)





Sawah





Awal
212,5
162,5
125,0
793,4
375.000
Kepras 1
122,2
191,5
56,8
695,6
133.337
Kepras 2&3
0
249,3
25,0
717,9
150.000
Tegalan





Awal
0
185,2
100,0
710,0
933,610
Kepras 1
40
219,5
0
746,7
552,460
Kepras 2&3
0
200,0
200,0
1.200,0
0
Malang (PG. Krebet baru)





Sawah





Awal
147,1
230,4
83,3
919,1
0
Kepras 1
702,3
0
0
652,8
0
Kepras 2&3
750,0
0
0
1.333,3
0
Tegalan





Awal
150,0
66,7
0
977,8
0
Kepras 1
338,3
33,3
0
779,4
437.214
Kepras 2&3
400,0
0
0
800,0
0
Kepras >3
350,0
50,0
0
500,0
0
Jember (PG. Semboro)





Sawah





Awal
0
166.7
33,3
566,7
0
Kepras 1
0
165.7
0
763,0
900.000
Kepras 2&3
0
200,0
0
800,0
0
Kepras >3
0
147,6
0
800,0
0
Tegalan





Awal
0
230,4
200,0
800,0
0
Kepras 1
0
200,0
0
850,0
85.714
Kepras 2&3
0
150,0
0
766,7
0

Petani di Kabupatan Madiun, menggunakan pupuk urea, SP-36, KCL dan ZA untuk tanaman tebu di lahan sawah, sedangkan untuk di lahan tegalan hanya digunakan pupuk urea dan ZA (Tabel 3). Demikian juga pola penggunaan pupuk di Kabupaten Kediri relatif sama dengan di Kabupaten Madiun. Produktivitas tebu di Kabupten Malang, pada tanam awal adalah 109,8 ton/ha lebih tinggi daripada produksi di lahan tegalan (94,9 ton/ha). Demikian pula, produktivitas tebu tanam awal yang ditanam di lahan sawah lebih tinggi daripada kepras 1.
Bila diperhatikan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada lahan sawah di Kabupaten Malang pada kegiatan tanam awal lebih lengkap dibandingkan dengan tanam kepras baik pada kepras 1 maupun pada kepras 2 & 3. Pada tanaman kepras petani tidak menggunakan pupuk SP-36 dan KCl. Daya Saing Finansial dan Ekonomi Usahatani Temu Justifikasi yang digunakan untuk menganalisis daya saing finansial dan ekonomi usahatani tebu seperti berikut: (1) Pupuk urea, SP-36, KCL, NPK, herbisida dan insektisida termasuk barang tradable (asing), sedangkan tenaga kerja, sewa lahan, modal, pupuk organik dan bibit termasuk barang non tradable (domestik). Walaupun terdapat bibit tebu yang berasal dari Luar negeri seperti Taiwan, namun sebagian besar petani telah menanam padi yang dihasilkan oleh P3GI, swasta dan pihak PG sendiri; (2) Tingkat suku bunga pinjaman petani sebesar 16%/tahun, namun karena dana pinjaman yang diterima petani tidak sekaligus tetapi menurut jenis kegiatan (pengolahan tanah, pemeliharaan, tebang muat dan angkut (TMA) dan lainnya maka untuk suku bunga yang digunakan untuk perhitungan secara privat sebesar 8 persen; (3) Harga sosial untuk pestisida dan herbisida sebesar 80 persen dari harga aktual di masing-masing lokasi penelitian. Pengurangan 20 persen merupakan tarif impor (10%) dan pajak pertambahan nilai (10%), dan (4) Nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp. 9000/US$.
Selain itu justifikasi untuk harga gula dan pupuk yang digunakan dalam analisis sebagai berikut : berdasarkan Commodity Price data Pinksheet Oktober 2004 yang dikeluarkan oleh World Bank Development Prospects menunjukkan bahwa harga gula rata-rata untuk bulan Juli, Agustus dan September 2004 sebesar 170.3 US$/ton, pupuk urea : 210,37US$/ton; ZA : 222,83 US$/ton; KCL : 120 US$/ton dan SP-36 : 193,8 US$/ton. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan).
Tabel 4. Profitabilitas Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu di Jawa Timur Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit (Juta Rp), 2003/2004.
Wilayah
Penerimaan
Biaya
Keuntungan

Finansial
Ekonomi
Finansial
Ekonomi
Finansial
Ekonomi
Madiun (PG. Pagotan)






Sawah






Awal
17,2
12,3
14,0
14,7
3,2
(2,4)
Kepras 1
17,0
12,2
13,9
14,9
3,1
(2,8)
Tegalan






Awal
16,8
12,0
14,0
14,9
2,8
(2,9)
Kepras 1
13,5
9,6
11,11
12,0
2,4
(2,4)
Kediri (PG. Pesantren baru)






Sawah






Awal
17,3
12,4
15,4
16,4
1,9
(4,0)
Kepras 1
18,8
13,6
13,2
14,2
5,6
(0,6)
Kepras 2&3
11,6
8,4
9,5
10,4
2,1
(2,0)
Tegalan






Awal
21,7
15,6
16,7
17,5
5,0
(1,9)
Kepras 1
16,8
12,1
11,7
12,7
5,1
(0,6)
Kepras 2&3
16,6
12,0
10,5
12,1
6,1
0,2
Malang (PG. Krebet baru)






Sawah






Awal
18,1
12,9
12,4
13,5
5,7
(0,6)
Kepras 1
12,3
8,9
8,3
9,6
4,0
(0,7)
Kepras 2&3
13,4
9,1
11,9
13,4
1,5
(4,3)
Tegalan






Awal
15,6
11,0
9,7
10,6
5,9
0,4
Kepras 1
14,8
10,6
7,8
8,9
7,0
1,7
Kepras 2&3
15,4
10,9
7,1
7,7
8,3
3,2
Kepras >3
11,5
9,0
6,2
6,3
5,3
2,7
Jember (PG. Semboro)






Sawah






Awal
18,9
13,8
11,9
12,6
7,0
1,2
Kepras 1
15,6
11,2
9,9
10,7
5,7
0,5
Kepras 2&3
13,4
9,8
9,4
10,4
4,0
(0,5)
Kepras >3
9,1
6,4
9,4
10,1
(0,3)
(3,7)
Tegalan






Awal
13,8
10,1
8,7
9,7
5,1
0,4
Kepras 1
12,7
9,3
7,4
8,2
5,3
1,0
Kepras 2&3
11,2
8,2
6,0
6,9
5,2
1,3

Keuntungan finansial (privat) merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah.
Pada musim tanam 2003/2004, usahatani tebu di empat kabupaten di Propinsi Jawa Timur secara finansial sangat menguntungkan seperti terlihat pada Tabel 4. Namun demikian tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usahatani tebu bekisar antara Rp. 2,5 juta sampai Rp.8 juta per hektar. Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp.2,5 juta-Rp. 5 juta per hektar. Keuntungan yang diperoleh petani tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri berkisar Rp. 2,5 juta-Rp. 5,5 juta per hektar; sementara di Kabupaten Malang dan Jember berkisar antara Rp. 5,0 juta-Rp.8,5 juta per hektar.
Perbedaan ini bukan disebabkan oleh perbedaan produktivitas dan rendemen karena kedua hal tersebut relatif sama di empat wilayah tersebut (lihat Tabel 2), melainkan adanya perbedaan yang mencolok dalam hal biaya untuk sewa lahan dan  tenaga kerja. Sewa lahan dan biaya tenaga kerja di Kabupaten Madiun dan Kediri lebih besar daripada Kabupaten. Malang dan Jember. Sehingga rasio penerimaan dengan biaya (R/C) secara finansial sebesar 1,2 di Kabupaten Madiun dan Kediri berbanding 1,5 di Kabupaten Malang dan Jember.
Biaya usahatani tebu terdiri dari biaya untuk pembelian bibit terutama untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lain. Komponen biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, potong bibit, tanam, kepras, pemeliharaan dan tebang, muat, angkut (TMA). Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Hal ini disebabkan sewa lahan terutama di Kabupaten Madiun dan Kediri relatif mahal yaitu berkisar Rp. 4,5 juta - Rp. 5 juta/ha. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik. Rata-rata biaya TMA per ton tebu adalah Rp.24.350–Rp.30.000. Selain itu, biaya tenaga kerja untuk usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi dari pada lahan tegalan disebabkan pemeliharaan tanaman dilahan sawah lebih intensif dari pada di lahan tegalan, seperti kegiatan kletek dan bumbun.
Keuntungan usahatani tebu secara finansial menurut tipe lahan dan tipe bibit bervariasi antar wilayah. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan produktivitas tebu di lahan sawah lebih besar daripada di lahan tegalan, sementara tanaman awal (bongkar ratoon) dan kepras 1 lebih besar dibandingkan dengan kepras 2 dan seterusnya.  Keuntungan usahatani tebu secara ekonomi dapat dipandang sebagai cerminan efisiensi ekonomi suatu usaha. Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan tetapi secara ekonomi tidak selalu demikian. Secara ekonomi, usahatani tebu di kabupaten Malang dan Jember masih menguntungkan, namun di Kabupaten Madiun dan Kediri mengalami kerugian sekitar Rp 2 juta- Rp 4 juta per hektar. Perbedaan nilai keuntungan secara finansial dan ekonomi ini merupakan petunjuk adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah atau ketidaksempurnaan pasar gula dan industri gula. Fenomena yang terjadi dalam usahatani tebu adalah harga input yang dibayar oleh petani lebih rendah, sementara harga output yang diterima petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya (sosial). Dalam usahatani tebu, pemerintah telah menetapkan kebijakan proteksi baik terhadap input maupun output untuk melindungi petani tebu di pasar domestik. Subsidi berbagai pupuk terlihat dari Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk urea, SP-36, ZA dan NPK/Phonska berturut-turut sebesar Rp. 1150; Rp. 1400; Rp.950 dan Rp. 1600 (Kompas, 7 Desember 2004). Selain itu pemerintah juga menetapkan harga dasar gula petani sebesar Rp. 3410/kg, yang saat ini dapat dicapai berkat penerapan tarif impor gula sebesar Rp.700/kg.
Secara umum usahatani tebu di Kabupaten Madiun dan Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR lebih besar satu seperti terlihat pada Tabel 5. Usahatani tebu yang mempunyai keunggulan komparatif dapat ditemukan di Kabupaten Malang dan Jember terutama usahatani tebu di  lahan kering, sedangkan di kabupaten Madiun dan Kediri menunjukkan kebalikannya.

Tabel 5. Daya Saing dan Tingkat Proteksi Usahatani Tebu di Beberapa Wilayah Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit , 2003/2004
Wilayah
DRCR
PCR
NPCO
NPCI
EPC
Madiun (PG. Pagotan)





Sawah





Awal
1,23
0,8
1,40
0,57
1,53
Kepras 1
1,28
0,8
1,40
0,54
1,59
Tegalan





Awal
1,29
0,82
1,40
0,54
1,57
Kepras 1
1,30
0,81
1,40
0,50
1,60
Kediri (PG. Pesantren baru)





Sawah





Awal
1,40
0,88
1,39
0,57
1,60
Kepras 1
1,05
1,68
1,39
0,56
1,54
Kepras 2&3
1,31
0,80
1,38
0,56
1,64
Tegalan





Awal
1,14
0,76
1,39
0,59
1,50
Kepras 1
1,06
0,67
1,39
0,53
1,56
Kepras 2&3
0,98
0,59
1,39
0,58
1,67
Malang (PG. Krebet baru)





Sawah





Awal
1,06
0,65
1,40
0,56
1,62
Kepras 1
1,11
0,64
1,39
0,54
1,75
Kepras 2&3
1,67
0,87
1,47
0,45
1,91
Tegalan





Awal
0,95
0,58
1,42
0,50
1,63
Kepras 1
0,79
0,48
1,40
0,54
1,64
Kepras 2&3
0,66
0,43
1,42
0,62
1,54
Kepras >3
0,66
0,49
1,28
0,87
1,34
Jember (PG. Semboro)





Sawah





Awal
0,90
0,61
1,37
0,55
1,47
Kepras 1
0,95
0,61
1,39
0,58
1,56
Kepras 2&3
1,07
0,67
1,37
0,56
1,60
Kepras >3
1,85
1,00
1,43
0,51
1,84
Tegalan





Awal
0,94
0,59
1,37
0,59
1,60
Kepras 1
0,85
0,51
1,37
0,68
1,66
Kepras 2&3
0,80
0,49
1,37
0,51
1,63

Data pada Tabel 5 juga menunjukkan bahwa koefisien PCR di semua wilayah  lebih kecil dari satu, yang berarti sistem usahatani tebu mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara finansial. Namun kemampuan membayar biaya domestik tersebut  untuk setiap wilayah berbeda, seperti terlihat dari koefisien PCR yang berbeda. Disamping itu terdapat kecenderungan bahwa koefisien PCR pada usahatani tebu di lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah. Sementara koefisien PCR menurut tipe bibit tidak berbeda nyata, hal ini mungkin karena kategori tipe bibit yang dibuat relatif dekat antara satu dengan yang lain (tanam awal, kepras 1, kepras 2&3 serta kepras>3).
Dampak kebijakan subsidi input (terutama pupuk) yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer input melalui koefisien proteksi input nominal (NPCI). Sedangkan dampak kebijakan harga output dapat dilihat dari nilai transfer output melalui koefisien proteksi output nominal (NPCO). Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0,5. Kecenderungan tersebut adalah sama untuk di empat kabupaten. Hal ini mencerminkan distribusi pupuk di Propinsi Jawa Timur cukup baik, sehingga harga pupuk di pasar antar wilayah tidak terdistorsi.
Selain dari sisi input produksi, petani juga menikmati insentif harga output yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 35-40 persen dari harga jual yang seharusnya, dengan koefisien NPCO sekitar 1,35-1,40 (Tabel 5). Hal ini memberikan makna bahwa produsen domestik menerima harga jual gula yang lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi dan output tersebut dinikmati oleh semua petani tebu yang berada di Jawa Timur. Pengaruh tingkat proteksi secara simultan terhadap input tradable dan harga output dapat dilihat dari besaran koefisien EPC (effective protection coefficient). Semakin besar koefisien EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas tebu. Pada Tabel 5, nilai EPC antar wilayah relatif sama yaitu bekisar 1,4-1,8 yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 40-80 persen. Besaran ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional.
Dalam penelitian ini telah dilakukan simulasi untuk mengetahui berapa harga gula dunia dan produktivitas tebu seharusnya untuk mencapai kondisi dimana usahatani tebu yang diusahakan oleh petani mempunyai keunggulan komparatif. Analisis ini hanya dilakukan pada wilayah yang nilai DRCRnya lebih besar dari satu, yaitu Kabupaten Madiun dan Kediri untuk tipe lahan sawah dan lahan kering serta Kabupaten Malang untuk lahan sawah.
Tabel 6. Simulasi Terhadap Harga Tebu International, dan Produktivitas Usahatani Tebu di Madiun, Kediri dan Malang yang DRCR >1 Menurut Jenis Lahan dan Tipe Bibit, 2003/2004.

Wilayah
Aktual
DRCR=1
Produktivitas Tebu (kg/ha)
Harga Gula Dunia (US$/kg)
Kenaikan Produktivitas Tebu (%)
Harga Gula Dunia (US$/kg)
Madiun (PG. Pagotan)




Sawah




Awal
104.551
170.3
20
209
Kepras 1
108.773
170.3
23
215
Tegalan




Awal
108.000
170.3
24
218
Kepras 1
88.000
170.3
24
218
Kediri (PG. Pesantren baru)




Sawah




Awal
106.620
170.3
32
233
Kepras 1
115.160
170.3
4
179
Kepras 2&3
73.710
170.3
24
217
Tegalan




Awal
126.670
170.3
12
194
Kepras 1
104.170
170.3
5
179
Malang (PG. Krebet baru)




Sawah




Awal
109.800
170.3
5
180
Kepras 1
76.670
170.3
8
186
Kepras 2&3
80.000
170.3
46
261

Berdasarkan simulasi tersebut menunjukkan bahwa usahatani tebu di ketiga wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif apabila harga gula dunia lebih besar dari yang berlaku sekarang tetapi besarannya bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Namun secara umum untuk mencapai hal tersebut, harga gula dunia mencapai sekitar 220 US$/kg (Tabel 6). Hasil analisis simulasi dengan variabel perubahan produktivitas tebu menunjukkan bahwa usahatani tebu di ketiga wilayah akan memiliki keunggulan komparatif, jika produktivitas dan atau rendemen tebu dapat ditingkatkan sekitar 20 persen dari kondisi saat ini. Hal tersebut sangat relevan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian) yaitu program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional. Program ini dilakukan sebagai langkah strategisdalam upaya peningkatan produktivitas, produksi dan mutu tebu untuk memenuhi kapasitas giling terpasang pabrik gula agar dapat beroperasi secara efisien dan menghasilkan gula dengan biaya produksi yang kompetitif. Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2003, khusus di Jawa Timur dilakukan bongkar ratoon seluas 10.000 hektar dari luas tebu yang mencapai 148 000 ha.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa program ini telah berdampak positif berupa:
1.          Terjadinya bongkar ratoon secara swadaya oleh petani seluas 16 000 ha, dengan menanam tebu varietas unggul tinggi;
2.          Produktivitas tebu meningkat dari 65.75 ton/ha menjadi 92.55 ton/ha;
3.          Rendemen meningkat dari 6.10 persen menjadi 6.63 persen;
4.          Produksi hablur meningkat dari 4,02 ton/ha menjadi 6,12 ton/ha. Hasil analisis ini memberikan petunjuk bahwa program bongkar ratoon pada masa yang akan datang perlu  diperluas, dengan melibatkan lebih banyak petani dan wilayah kerja pabrik gula. Perluasan program ini hendaknya dilakukan sejalan dengan penyediaan kredit dan pengintegrasian antara aktivitas budidaya (petani tebu) dan aktivitas pengolahan di PG, khususnya pada daerah-daerah yang secara ”emosional” pernah memiliki kaitan dengan industri gula.












KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
    1.          Kesimpulan
a.         Rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, lebih tinggi daripada di lahan tegalan. Produktivitas tebu di lahan kering di Kabupatan Malang dan Jember lebih kecil dibandingkan dengan di Kabupaten Madiun dan Kediri. Namun, rendemen di empat lokasi relatif sama yaitu antara 6-7 persen.
b.        Proporsi biaya tenaga kerja dan sewa lahan usahatani tebu di lahan sawah dan tegalan di Jawa Timur mencapai sekitar 70 persen terhadap total biaya usahatani tebu, Sewa lahan di Kabupatan Madiun dan Kediri lebih mahal dibandingkan dengan di Kabupaten Malang dan Jember, yaitu berkisar Rp 4 juta–Rp 5 juta/ha.
c.         Usahatani tebu di Propinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan. Rata-rata keuntungan sebesar Rp 2,5 juta–8 juta per hektar. Keuntungan petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri lebih kecil (Rp 2,5 juta–Rp 5,5 juta/ha) dibandingkan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember (Rp 5,0 juta–Rp 8,5 juta/ha). Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras.
d.        Walaupun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kebalikannya. Secara ekonomi, kerugian yang dialami petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri sebesar Rp 2 juta–Rp 4 juta per hektar. Perbedaan ini disebabkan adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah.
e.         Usahatani tebu di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan usahatani tebu di Kabupaten Malang dan Jember menunjukkan kebalikannya (DRCR<I). Usahatani tebu di Kabupaten Madiun, Kediri dan Malang (lahan sawah) akan mempunyai keunggulan komparatif, apabila produktivitas (rendemen) tebu meningkat sekitar 20 persen atau harga gula dunia menjadi 220 US$/ton.
f.             Sistem usahatani tebu disemua lokasi mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien (PCR<1). Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya. Selain itu, harga jual gula yang dinikmati oleh petani lebih tinggi sekitar 35– 40 persen dari harga jual gula seharusnya.
    2.          Implikasi kebijakan
a.         Pengembangan areal pertanaman dan bongkar ratoon tebu hendaknya dilaksanakan sejalan dengan upaya pengintegrasian aktivitas budidaya (petani tebu) dan aktivitas pengolahan (PG). Dalam program ini diperlukan penyediaan kredit usahatani tebu, khususnya bagi petani kecil/miskin yang menjual tebu secara tebasan. Program ini hendaknya diikuti dengan penguatan kelompok tani, untuk menghindari ketergantungan petani dan PG dengan pedagang (penebas) tebu.
b.        Pengembangan areal pertanaman tebu di Jawa diarahkan pada lahan kering, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan dengan program peningkatan produksi tanaman pangan.
c.         Kebijakan proteksi dalam bentuk tarif dan tataniaga impor gula perlu prinsip kehati-hatian, dengan memberikan kesempatan kepada PG untuk meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomisnya. Kebijakan ini hendaknya diikuti dengan penetapan rendemen individual atau rendemen minimum yang akan diberikan oleh setiap PG, sehingga dalam masa transisi ini petani dapat memperoleh keuntungan yang layak dari usahatani tebu.





DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Meneropong Program pengembangan Tebu di Jawa Timur. RATOON. Media Komunikasi dan Informasi Petani Tebu di Jawa Timur. Edisi 4/th.1/Mei 2004.
Hutabarat, B.M.S, T. Kuntohartono, Nahdodin dan Soedarsono. 2001. Restrukturisasi Industri Gula Nasional. (Mimeo).
Kompas. 2004. Subsidi untuk Pupuk tetap dengan Pola yang lama. Kompas, 7 Desember, halaman 13.
Monke, E.A. and S.K. Pearson.1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London.
Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula Kajian Sosial-Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta
Malian, AH. dan Saptana. 2003. Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula terhadap Pendapatan Petani Tebu. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Vol 3 No.2: 107-124. Denpasar
Malian,A.H; M.Ariani; K.S.Indraningsih; A.Zakaria; A.Askin dan J.Hestina. 2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. Laporan Penelitian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Salvatore, D. 1995. International Economics. Prentice Hall International, Inc., New Jersey, USA.
Soentoro, N. Indiarto dan A.M.S.Ali. 1999. Usaha Tani Dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penyunting M.H.Sawit, dkk. Penerbit Institut Pertanian Bogor.