Senin, 02 Mei 2011

PELUANG PENGEMBANGAN DAN PENGOLAHAN ENCENG GONDOK MENJADI KERTAS SENI TUGAS MATA KULIAH EKONOMI SUMBER DAYA PERTANIAN

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Eceng gondok atau enceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya.
Enceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Enceng gondok berkembangbiak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan enceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Orang lebih banyak mengenal tanaman ini tumbuhan pengganggu (gulma) diperairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak.
Enceng gondok hidup mengapung bebas bila airnya cukup dalam tetapi berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Enceng gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Kemampuan tanaman inilah yang banyak di gunakan untuk mengolah air buangan, karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestic dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Enceng gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara biokimiawi (berlangsung agak lambat) dan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik, kemampuan menyerap logam persatuan berat kering enceng gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur tua (Widianto dan Suselo, 1977).
Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan tanaman enceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Di kawasan perairan danau, enceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5-20 m. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budidaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah pertanian.
Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan eceng gondok antara lain:
·       Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
·       Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
·       Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.
·       Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
·       Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.
·       Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma enceng gondok di kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkan tanaman enceng gondok untuk kerajinan kertas seni. Enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983). Pulp enceng gondok yang dihasilkan berwarna coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat dihasilkan melalui proses ini. Kertas seni yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan untuk pembuatan berbagai barang kerajinan seperti kartu undangan, figura, tempat tissue dan perhiasan.
Pengusahaan kertas seni seperti halnya di kawasan wisata Danau Singkarak, Sumatera Barat memiliki beberapa keuntungan. Pertama, upaya tersebut merupakan alternatif yang sangat baik untuk mengontrol pertumbuhan gulma enceng gondok di kawasan perairan Danau Singkarak. Pengusahaan ini tentunya akan didukung oleh pemerintah daerah setempat karena berdampak positif terhadap upaya pelestarian kawasan perairan Danau Singkarak. Apabila industri kerajinan enceng gondok tersebut berkembang, maka masyarakat pengrajin akan memanen gulma tersebut dari kawasan perairan danau sebagai sumber bahan bakunya. Kedua, pengembangan industri kerajinan tersebut juga akan menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar sehingga akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Terakhir, berkembangnya industri kerajinan di kawasan wisata Danau Singkarak akan memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat dengan penyediaan berbagai cenderamata yang berdampak positif terhadap pengembangan sektor wisata di wilayah tersebut.
Sebenarnya bisnis kertas seni sudah lama digeluti orang-orang yang disebut dengan produk kertas daur ulang. Bisnis ini sudah mulai dikenal luas dan diminati oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di perkotaan. Produk ini sudah banyak ditemui di etalase-etalase toko berupa souvenir cantik dan bernilai seni tinggi. Di perkotaan bisnis ini banyak dilakukan oleh kaum muda, mahasiswa, dan kelompok pengrajin lainnya.
Bisnis kertas seni berbahan enceng gondok dan kertas bekas ini sebenarnya suatu inovasi menggabungkan dua kepentingan. Di satu sisi produk berbahan enceng gondok ini menghasilkan kertas dengan nilai seni yang relatif lebih indah dan di sisi lain adalah upaya pengendalian gulma enceng gondok di perairan Danau Toba. Kata kunci dari bisnis ini adalah punya kemauan besar, kreatif, dan ingin maju. Kerajinan ini sebenarnya merupakan aktivitas sederhana, tapi hasilnya luar biasa dan bernilai positif. Dengan sedikit sentuhan seni, kegiatan tersebut bisa menjadi sebuah produk karya seni yang laku di pasaran dengan harga tinggi. Produk-produk ini sudah mulai diusahakan masyarakat dalam skala industri rumah tangga (home industry) sampai skala menengah. Sebagian besar dari produk kertas daur ulang ini adalah sebagai barang kerajinan atau cenderamata. Berbagai produk yang biasa diproduksi dari bahan ini antara lain kartu-kartu ucapan, hiasan dinding, tempat pensil, amplop, blocknote, figura foto, dan lain sebagainya.
Enceng gondok jika diolah dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk, mulsa, media semai, pakan ternak, dan pulp/kertas. Di Jawa Tengah dan di Balige sendiri sudah dikembangkan sebagai bahan baku anyaman. Peluang bisnis ini relatif lebih potensial jika dikembangkan di perkotaan. Merupakan suatu tantangan berbagai stakeholder untuk mencarikan sasaran target-target pemasarannya (Muladi, 2001).
Dalam rangka mendukung kelestarian danau dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera telah melaksanakan kegiatan workshop pemanfaatan enceng gondok sebagai bahan baku kertas seni. Kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Tobasa pada tahun 2004. Dari kegiatan ini telah terbentuk kelompok-kelompok pengrajin pemanfaatan enceng gondok di sekitar Danau Toba.
B.  Tujuan
Tujuan dari pembuatan enceng gondok menjadi kertas seni adalah salah satu upaya penanggulangan dan peningkatan nilai jual enceng gondok. Enceng gondok  yang semula dianggap sebagai gulma pada perairan ternyata bisa dirubah menjadi barang lain yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.















PEMBAHASAN

A.  PELUANG PENGEMBANGAN KERTAS SENI DARI ENCENG GONDOK
1.    Enceng Gondok sebagai Bahan Baku Utama Masih Melimpah
Secara fisiologis, tumbuhan enceng gondok ini berkembang sangat cepat. Perkembangan dengan vegetatif sangat cepat yakni dapat melipat ganda dua kali dalam 7-10 hari. Enceng gondok pada pertumbuhan 6 bulan dapat mencapai 125 ton/ha dan dalam 1 ha diperkirakan dapat tumbuh sebanyak 500 kg/hari (Heyne, 1987). Memang hal ini terbukti, walupun tumbuhan ini sering dibersihkan dari danau, keberadaannya terus-menerus masih melimpah. Sebagai contoh, tumbuhan ini yang sangat subur tumbuh di belakang Kantor Dinas Kehutanan dan Pertanian Tobasa.
Ketersediaan bahan baku mutlak diperlukan dalam mengembangkan suatu bidang usaha. Dari segi bahan baku, dirasakan masih akan terus melimpah sampai waktu yang masih lama. Jadi belum dirasakan masalah akan pengadaan bahan baku enceng gondok ini.
Untuk meningkatkan penampilan produk kertas seni yang dihasilkan perlu dicampur dengan kertas bekas. Sumber bahan limbah ini pun akan terus menerus tersedia semisal dari kantor-kantor, koran bekas, dan sebagainya.
2.    Sumberdaya Manusia
Salah satu permasalahan bangsa ini yang belum tuntas adalah masalah kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Karena usaha ini merupakan teknologi sederhana, dengan kemauan dan semangat, siapa pun dapat melakukannya. Di Kawasan Danau Toba masih memiliki banyak tenaga usia produktif yang belum mendapatkan kesempatan kerja. Potensi tenaga usia produktif ini menjadi salah satu modal pengembangan usaha ini.
3.    Danau Toba sebagai Daerah Tujuan Wisata
Salah satu kelengkapan Obyek Tujuan Wisata (OTW) adalah tersedianya berbagai souvenir terutama dengan nuansa etnik. Potensi wisata ini dapat dimanfaatkan sebagai sasaran pemasaran dari produk kertas seni berbahan enceng gondok. Produk etnik dimaksud adalah produk-produk kerajinan dengan memasukkan unsur budaya Batak Toba seperti bentuk tulisan batak, gambar, relief, dan lain-lain.
B.  TEKNOLOGI PENGOLAHAN ENCENG GONDOK SEBAGAI KERTAS SENI
Teknologi pengolahan enceng gondok sebagai bahan baku kertas seni sangat sederhana. Untuk meningkatkan mutu kertas yang diproduksi, kertas enceng gondok dicampur dengan pulp kertas bekas. Prosedur pembuatan kertas daur ulang campuran enceng gondok dan kertas bekas ditunjukkan pada Gambar 1.
1.    Penyediaan Bahan Baku
Bahan baku enceng gondok diambil dari pinggiran Danau Toba. Bagian tumbuhan ini yang diambil adalah bagian batangnya saja, dengan asumsi di bagian batang inilah terdapat paling tinggi seratnya. Bagian pangkal dan daun sebenarnya dapat juga digunakan, akan tetapi dapat menimbulkan sedikit kesulitan dalam proses penggilingannya. Bagian daun relatif lebih susah digiling/di-blender.
Bagian batang enceng gondok ini kemudian dirajang dan dikeringkan sampai mencapai kering udara. Proses ini dimaksudkan agar pada saat pemasakan, NaOH dapat diserap dengan baik oleh enceng gondok. Di samping itu, proses pengeringan ini diperlukan untuk mengurangi volume dari enceng gondok yang sangat volumenous.
Dari kegiatan penelitian yang dilakukan diketahui kadar air enceng gondok segar sebesar 1.676,56% atau mengandung air sebanyak 94,25%, dengan rendemen pulp dalam kondisi kering tanur sebesar 3,6%. Dari pemanenan seluas 1 m2 enceng gondok mempunyai bobot segar sebesar 28 kg yang sebagian besar (84%) berupa batang. Panjang batang/pelepah dapat mencapai 87 cm dengan diameter antara 1-3 cm. Dilihat dari angka tersebut diketahui rendemen yang dihasilkan sangat rendah. Kemungkinan karena hal inilah yang menyebabkan bahan baku ini kurang diminati dalam rangka produksi kertas dalam skala besar, walaupun potensi dan perkembangbiakan dari enceng gondok ini tergolong tinggi.

Gambar 1. Proses pembuatan kertas enceng gondok

 

 


2.    Proses Pulping Enceng Gondok
Enceng gondok yang sudah dalam keadaan kering udara dimasak dalam tong pemasak dengan perbandingan 1 kg enceng gondok : 4 lt air : 10 gr NaOH. Pemberian NaOH dimaksudkan untuk mempercepat proses pemisahan serat. Proses pulping/pemasakan dilakukan pada suhu air mendidih selama 3 jam. Pada masa 3 jam ini berakhir, akan didapat enceng gondok dalam bentuk bubur yang menyatu dengan air. Untuk menghilangkan NaOH ini dilakukan pencucian sampai bersih, agar tidak meninggalkan bau dari larutan pemasaknya. Sisa larutan pemasak dapat digunakan kembali dalam proses pemasakan berikutnya.
3.    Proses Penggilingan Kertas Bekas
Proses penggilingan kertas bekas yang sudah direndam, dilakukan terpisah dengan proses penggilingan enceng gondok. Pada saat penggilingan kertas bekas, ditambahkan perekat PVAc kurang lebih 5% dari berat kertas. Proses penggilingan juga masih dilakukan pada pulp enceng gondok, mengingat pada proses pulping tidak dapat menghasilkan serat-serat lebih halus dan seragam. Dari segi teknis produksi, kertas koran bekas lebih mudah digiling, akan tetapi lebih susah dalam pewarnaan. Waktu pencetakan lembaran lebih lama karena pengaruh serat-serat pendek dari kertas koran yang menyulitkan air keluar. Kertas bekas berwarna putih seperti HVS lebih susah digiling akan tetapi lebih mudah dalam pewarnaan dan proses pencetakan lembaran.
4.    Pencetakan Lembaran
Proses pencetakan lembaran dimulai dengan melakukan pengenceran pulp kertas bekas dan pulp enceng gondok. Persentase dari campuran pada intinya dapat dilakukan pada tingkat yang berbeda-beda tergantung hasil kertas yang kita inginkan. Untuk lebih menonjolkan serat dari enceng gondok, dibuat persentase enceng gondoknya lebih besar. Pewarnaan dapat dilakukan sebelum proses pengenceran dan diupayakan dikondisikan beberapa jam agar warna yang diberikan dapat diserap dengan baik oleh pulp. Pengenceran adonan campuran pulp ini perlu dilakukan agar dapat diproduksi kertas yang tipis. Karena alat yang digunakan adalah manual, maka ketebalan kertas yang dihasilkan akan sangat variatif antar kertas maupun dalam satu lembaran kertas. Perlu keterampilan dan pengalaman agar pada proses pencetakan dapat menghasilkan ketebalan kertas yang relatif seragam.
Sebagai gambaran produksi, dari hasil percobaan pengolahan 1 kg enceng gondok kering dapat menghasilkan 262 lembar kertas seni dengan ukuran 330 x 215 x 0,21 mm.
5.    Pengeringan Kertas
Dengan menggunakan screen, kertas dicetak dan dipres pada selembar kain yang ditempatkan pada bidang yang kaku. Proses pengeringan dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari. Dalam keadaan matahari terik, selama 1 jam kertas sudah dalam kondisi kering. Apabila kondisi mendung, dapat juga dilakukan pengeringan dalam ruangan dengan jalan diangin-anginkan, walaupun kelihatannya kualitas kertas di bawah sinar matahari lebih bagus. Untuk skala yang lebih besar perlu dipikirkan untuk membuat alat pengering misalnya dengan membuat ruang pengering dari plat/kaca atau dengan mengkombinasikan dengan tungku pembakaran.
6.    Kualitas Kertas
Pemanfaatan kertas seni umumnya sebagai kertas seni, sehingga penilaian kualitas kertas didasarkan pada keindahan relatif dari kertas. Berbeda dengan penilaian kualitas kertas sebenarnya yang menilai kualitas dari kekuatan tarik, kekuatan sobek, gramatur, dan lain-lain. Kertas seni dengan campuran enceng gondok memiliki penampilan yang lebih indah karena menampilkan serat-serat yang muncul di permukaan kertas. Berbeda dengan kertas tanpa campuran enceng gondok, kurang memiliki nilai artistik yang tidak jauh beda dengan kertas-kertas biasa.



C.  STRATEGI PENGEMBANGAN KERAJINAN KERTAS SENI
1.    Pembentukan Kelompok-Kelompok Pengrajin
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan membentuk kelompok-kelompok pengrajin di sekitar Danau Toba seperti Pangururan, Tomok, Parapat, Balige, dan sebagainya. Sasaran SDM yang dibutuhkan adalah kawula muda yang dianggap lebih kreatif dan inovatif. Kelompok pengrajin yang sudah ada dilakukan pelatihan-pelatihan mulai dari pembuatan kertas seni sampai pembuatan berbagai souvenir berbahan kertas seni itu. Workshop adalah salah satu bagian dari program pelatihan dimaksud. Kontinuitas pelatihan ini perlu dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan dari kelompok pengrajin terutama dalam produksi souvenir dengan unsur etnik Batak Toba.
2.     Pemasaran dan Promosi
Dalam ilmu pemasaran, kegiatan promosi itu merupakan bagian dan tulang punggung dari tercapainya target pemasaran di samping kualitas produk, harga, dan tempat. Kegiatan promosi dapat dilakukan melalui pameran di berbagai event skala lokal/kabupaten, provinsi, dan nasional. Hal ini sangat diperlukan mengingat produk ini yang khas dan perlu dikenalkan kepada masyarakat secara terus-menerus.
Promosi dapat juga disampaikan melalui website Pemda Sumatera Utara. Promosi ini dapat dikombinasikan dengan kampanye penyelamatan lingkungan perairan dari gulma enceng gondok. Slogan dengan memakai produk ini dapat membantu kebersihan lingkungan perairan menjadi suatu pilihan alternatif. Hal berbau penyelamatan lingkungan ini bisa disinergikan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang lingkungan.
3.    Nilai Kertas Seni
Semangat untuk memproduksi suatu barang sangat dipengaruhi oleh bayangan nilai jual produk itu sendiri. Sebagai contoh sederhana, untuk membuat figura foto ukuran post card, kebutuhan bahan baku dan biaya produksinya sekitar Rp 1.000,. Namun apabila figura tersebut telah jadi dan tampil menawan, ternyata bisa laku dengan harga Rp 5.000,- per buah. Dari hasil penelitian di BP2KS, diperoleh hasil bahwa dari 1 kg campuran enceng gondok dan kertas bekas, mampu menghasilkan lembaran kertas ukuran folio sekitar 262 lembar. Dengan asumsi per lembarnya Rp 500,-, maka 1 kg campuran enceng dan kertas bekas ini mampu menghasilkan Rp 131.000,-
4.    Sukses Pengembangan Kertas Daur Ulang
Dari Bandung diperoleh informasi, kelompok anak muda alumni Fakultas Teknik ITB telah berkarya dan memproduksi aneka produk cenderamata dari kertas daur ulang berupa bingkai foto, tempat pensil, tempat tissue, dan lain-lain. Produk-produk yang dihasilkan bisa terjual dengan harga mahal dan sebagian besar malah sudah diekspor ke berbagai negara.
Dari Yogyakarta diperoleh informasi, sebuah pondok pesantren terkenal melatih dan memberi peluang kerja bagi para santrinya dengan memproduksi aneka cenderamata dari kertas daur ulang. Produk-produk ini pun laris dipasarkan di daerah sekitarnya dengan omzet jutaan rupiah setiap bulannya. Produk yang mau dikembangkan ini lebih menarik dari sekedar kertas daur ulang saja. Misi yang melekat pada produk ini sebagai upaya penyelamatan lingkungan perairan diharapkan akan menjadi nilai tambah dari produk ini disamping produk ber-enceng gondok yang relatif lebih indah. Sekarang tinggal kemauan dan kerjasama dari berbagai stakeholder di Balige ini.
5.    Dukungan Kelembagaan
Kelompok pengrajin yang sudah dibentuk merupakan prasyarat utama dari rencana bisnis ini. Unit bisnis kecil merupakan modal besar dalam pengembangan usaha ini. Dari berbagai unit kecil ini diharapkan dibentuk suatu wadah yang lebih besar semisal koperasi pengrajin. Koperasi ini nantinya berfungsi sebagai penampung segala hasil karya pengrajin, jadi koperasi dalam hal ini akan mencarikan jaringan pemasaran. Institusi lain yang bisa berperan dalam program ini antara lain Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata dan Perhubungan, DEKRANAS/DA, KADIN, LSM, dan lain lain. Bantuan ini dapat bermacam-macam seperti mencarikan prospek pemasaran, melakukan promosi ataupun mencarikan bapak angkat bagi kelompok-kelompok pengrajin.
6.    Sasaran Bisnis
Tidak bisa dipungkiri bahwa mulai dari anak-anak, remaja, orang tua yang masih berjiwa muda maupun siapa saja yang suka melihat sentuhan seni akan menjadi pasar potensial produk ini. Produk yang dibuat diupayakan unik, menarik, dan lucu agar masyarakat yang melihatnya tertarik. Sasaran lain sesuai dengan hasil pengamatan di Medan, bahwa sekolah-sekolah banyak memakai kertas seni ini untuk keperluan bahan prakarya siswa-siswi SD/SMP/SMA. Potensi ini juga perlu dilirik. Kawasan Danau Toba sebagai salah satu daerah tujuan wisata merupakan pasar dari produk kertas dari enceng gondok ini yang bisa dimanfaatkan sebagai cenderamata untuk wisatawan.

KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
1.    Secara teknis, pengolahan enceng gondok sebagai bahan baku kertas seni sangat mudah dilakukan.
2.    Industri kerajinan kertas seni dari enceng gondok prospektif dikembangkan di sekitar Danau Toba sebagai souvenir etnik.
3.    Pengembangan usaha kecil ini dapat meningkatkan ketersediaan lapangan kerja baru.
4.    Dalam hal pemasaran termasuk promosi diperlukan dukungan berbagai stakeholder seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata dan Perhubungan, DEKRANAS/DA, KADIN, LSM, dan lain-lain.
B.       Saran
Disarankan teknologi sederhana ini bisa disosialisasikan kepada masyarakat sekitar danau yang mempunyai potensi enceng gondok. Diharapkan dengan penerapan teknologi ini dapat membantu pendapatan masyarakat sekitar dan mendukung kebersihan dan kelestarian danau sebagai daerah tujuan wisata.












DAFTAR PUSTAKA

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Joedodibroto, R. 1983. Prospek Pemanfaatan Enceng Gondok dalam Industri Pulp dan Kertas. Berita Selulosa. Edisi Maret 1983. Vol. XIX No. 1. Balai Besar Selulosa. Bandung.
Muladi, S. 2001. Kajian Enceng Gondok sebagai Bahan Baku Industri dan Penyelamat Lingkungan Hidup di Perairan. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Samarinda.